Mereka menyulap garasi rumah milik teman Adhika menjadi kedai. Lima bulan berselang, mereka sanggup membuka cabang baru di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Ide berbisnis mereka bukan datang bak bintang jatuh dari langit.
Ada serangkaian proses pahit sehubungan dengan rekrutmen pekerjaan yang membuat mereka dengan mantap banting setir sebagai wirausaha.
“Sejak aku lulus, aku selalu ikut kalau ada pameran kerja. Di sana, apa pun kantornya, ada yang kuliner, ada yang oil and gas, semua aku ambil kartu namanya. Semuanya aku lamar. Lewat e-mail sudah, sampai Putri kirim lewat amplop juga sudah. Enggak ada satu pun yang menerima aku jadi pegawai,” tutur Putri kepada Kompas.com saat dijumpai di kedainya di Duren Tiga, Selasa (7/5/2019).
Putri berkisah, awalnya ia selalu membubuhkan keterangan “disabilitas tuli” pada surat lamarannya.
Tak satu pun perusahaan menggubris lamarannya. Curiga namanya dicoret karena diketahui sebagai disabilitas, Putri emoh menulis lagi keterangan tersebut. Ia tetap berburu lowongan di pameran kerja.
Baca juga: Dunia Kopi, Kedai Kopi Pasar Berpelanggan Pejabat hingga Turis Mancanegara
Siasat tersebut membuahkan hasil. Beberapa perusahaan memanggilnya untuk sesi wawancara.
Akan tetapi, beda perlakuan bagi kalangan disabilitas dalam memperoleh akses pekerjaan memang nyata adanya.
“Sempet aku diwawancara salah satu perusahaan di Sudirman, mereka panggil Putri tapi dari jauh. Akhirnya, aku dikasih tahu orang resepsionis supaya ketemu HRD,” ujar Putri yang lulus sejak 2015 itu.
“HRD tanya nama kamu siapa, terus dia kaget karena suaraku begini. Dia sempat tanya Putri beberapa kali, Putri baru merespons pas ditanya ketiga kali. Di situ Putri dimarahi, katanya, ‘Kenapa enggak ditulis disabilitas tuli’? Aku jawab, kalau saya tulis tuli, enggak ada yang mau terima,” Putri bercerita.
Kata Putri, panggilan sesi wawancara selalu berujung penolakan. Kebanyakan perusahaan menolak secara halus dengan melontarkan dalih-dalih yang ia anggap tak masuk akal.
“Pernah ada lowongan, butuh 25 orang desain grafis. Aku daftar, lalu dipanggil wawancara. Habis wawancara, HRD-nya bilang kalau mereka sudah dapat orangnya. Ya, kalau sudah dapat ngapain panggil Putri?”
Putri menyebut, kurang lebih 500 lamaran sudah ia sebar ke berbagai perusahaan. Begitu pun Adhika, menurut Putri, sudah menyebar 200 lamaran pekerjaan.
Semuanya dianggap angin lalu karena mereka difabel.
“Di perusahaan kan mereka butuh kerja cepat, kalau teman tuli agak susah untuk cepat-cepat, apalagi enggak semua orang kantor sabar pakai bahasa isyarat. Padahal, yang kita perlukan hanya akses, bahwa kita sama saja lho,” ujar dia.