JAKARTA, KOMPAS.com – “Bisnis apa yang bagus, ya?” tanya Mohammad Adhika Prakoso (29) kepada Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso (28) suatu hari medio 2018 silam.
“Kamu sukanya apa?” balas Putri.
“Aku suka minum kopi, sih,” timpal Adhika.
Secara kebetulan, Putri juga sempat berdiskusi dengan salah satu pebisnis kuliner pada 2017 lalu. Pebisnis tersebut “meramal” bahwa Putri bisa sukses dengan bisnis kopi.
Tanpa pikir panjang, kedua lulusan desain komunikasi visual di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta ini langsung bersepakat soal rencana bisnis kopi.
Bukan saja karena bisnis ini sedang menjamur belakangan ini, keduanya hendak menunggangi bisnis kopi untuk agenda yang lebih besar.
Baca juga: Koptul, Racikan Kopi Teman Tuli untuk Perjuangkan Kesetaraan
Putri dan Adhika lantas menggenapi skuad mereka dengan mengajak Tri Erwin Syah Putra (27) bergabung.
Walaupun tak satu almamater dengan Erwin yang kuliah di Universitas Negeri Jakarta, ketiganya merupakan sahabat semasa kecil di TL Santi Rama, Jakarta Pusat.
TL merupakan kependekan dari Taman Latihan, setingkat TK (taman kanak-kanak) bagi anak-anak disabilitas.
Putri, Adhika, dan Erwin memang penyandang tunarungu. Namun, keterbatasan ini gagal tak menghambat mereka menggapai mimpi membangun bisnis kopi.
Mereka langsung berguru kepada pebisnis tadi soal dasar-dasar bisnis kopi.
Mereka menyusuri seluk-beluk kedai kopi dari BSD City sampai Bandung, berakhir menemukan petani lokal di Ciwidey yang saat ini menyuplai kopi untuk kedai mereka.
Pernah pula mereka berjibaku meracik kopi menggunakan mesin espresso manual sampai 10 gelas sehari demi menemukan rasa yang menyentuh hati, sesuai slogan kedai mereka, “taste that touch your heart.”
“Sampai mabok,” kenang Putri sambil tertawa.