JAKARTA, KOMPAS.com - Rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jakarta meminjam uang ke Bank DKI untuk mengantisipasi tunggakan yang belum dibayar BPJS Kesehatan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pinjaman dana ini sudah dilakukan sejak tahun 2018.
"Kalau di Jakarta, tentang pembayaran dari BPJS yang belum terselesaikan, kami siapkan bridging dari Bank DKI sehingga itu bisa menangani kekurangan sampai dengan pembayaran tuntas," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (30/8/2019).
Baca juga: 4 Fakta Usulan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, dari Besaran hingga Berlaku 2020
Pada tahun ini, Bank DKI meminjamkan dana Rp 93 miliar untuk enam RSUD di Jakarta.
Rinciannya, Rp 5 miliar untuk RSKD Duren Sawit, Rp 15 miliar untuk RSUD Budhi Asih, Rp 20 miliar untuk RSUD Koja, Rp 18 miliar untuk RSUD Pasar Rebo, Rp 15 miliar untuk RSUD Tarakan, dan Rp 20 miliar untuk RSUD Cengkareng.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menuturkan, pinjaman dana ke Bank DKI digunakan sebagai dana talangan untuk mengantisipasi terjadinya masalah keuangan di RSUD Jakarta akibat tunggakan klaim BPJS Kesehatan yang menjadi piutang bagi RSUD.
Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Tak Serta Merta Turunkan Defisit
"Kita harapkan dengan adanya bantuan kredit ini, layanan kesehatan kita tidak terganggu. Kita tahu, bahwa BPJS Kesehatan melalui program JKN ada sedikit kendala pencairan sehingga kita perlu antisipasi ke depannya," kata Widyastuti.
Menurut Widyastuti, dana talangan dari Bank DKI baru akan dicairkan saat RSUD membutuhkannya. Jika tidak dibutuhkan, dana talangan tersebut tetap disimpan di Bank DKI.
Tahun lalu, sejumlah RSUD di Jakarta juga meminjam uang ke Bank DKI untuk menalangi tunggakan yang belum dibayar BPJS Kesehatan.
Bank DKI mengenakan bunga sebesar 7,5 persen per tahun dan membebaskan biaya administrasi peminjaman oleh RSUD.
Baca juga: Iuran BPJS Naik Dua Kali Lipat Bikin Asuransi Swasta Lebih Menarik?
Pemerintah berencana menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat.
Untuk peserta kelas I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Artinya, peserta harus membayar Rp 160.000 per bulan dari saat ini yang hanya dikenakan Rp 80.000 per bulan.
Kemudian, peserta kelas mandiri II diusulkan naik Rp 59.000 per bulan menjadi Rp 110.000 dari posisi sekarang sebesar Rp 51.000 per bulan.
Sementara, peserta kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta setiap bulannya.
Kenaikan besaran iuran peserta BPJS Kesehatan ini bertujuan menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan terus meningkat tiap tahunnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, jika besaran iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 32,8 triliun, dari yang sebelumnya Rp 28,3 triliun.
Perhitungan defisit tersebut sudah memperhitungan besaran defisit tahun lalu yang mencapai Rp 9,1 triliun.
"Apabila jumlah iuran tetap sama, peserta seperti ditargetkan, proyeksi manfaat maupun rawat inap dan jalan seperti yang dihitung, maka tahun ini akan defisit Rp 32,8 triliun, lebih besar dari Rp 28,3 triliun," ujar Sri Mulyani, Selasa (27/8/2019).
Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah telah membayarkan iuran seluruh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sekaligus TNI, Polri dan ASN sepanjang tahun 2019 yang seharusnya dibayarkan setiap bulan.
Hingga saat ini pun, BPJS Kesehatan masih memiliki utang jatuh tempo lebih dari Rp 11 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.