Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Tukang Gali, Bertahan di Tengah Gerusan Mesin

Kompas.com - 28/10/2019, 07:58 WIB
Bonfilio Mahendra Wahanaputra Ladjar,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sabtu (26/10/2019) pukul 01.00 WIB, Andi (68) masih duduk di bawah kolong jembatan di depan Universitas Trisaksti, Grogol, Jakarta Barat.

Ia tidak sendiri. Di lokasi yang sama, ada tujuh teman Andi lainnya. Sebagian sudah tertidur pulas.

Mereka adalah tukang gali yang biasa mangkal di tempat tersebut. Rata-rata mereka sudah berusia lanjut.

Lantaran tak punya tempat tinggal di Jakarta, mereka memilih kolong jembatan sebagai tempat beristirahat sekaligus menunggu orderan.

Sambil duduk di atas terpal dan kardus, mata Andi terus memandang ke jalan, berharap ada orang yang mengajak kerja atau sekadar memberi makan.

"Biasa kalau jam segini ada yang ngasih sembako, kadang-kadang makanan. Ini lagi sepi-sepinya," ucap Andi saat berbincang dengan Kompas.com.

Andi yang merupakan warga Semarang mengaku sudah belasan tahun menjadi tukang gali di Jakarta.

Dulu, Andi bercerita, banyak teman seprofesinya yang mangkal. Namun, kini tinggal sedikit yang bertahan.

Setiap hari, mereka menunggu mandor yang membutuhkan jasa mereka.

Setelah mendapatkan penjelasan pekerjaan yang harus dilakukan, mereka langsung dibawa ke tempat proyek.

"Biasanya mandor kesini. Mereka jelasin kerjaannya, biasanya langsung kerja malam atau besoknya," ujar Andi.

Andi biasanya kerja secara berkelompok. Satu kelompok bisa terdiri dari tiga sampai lima orang, tergantung kebutuhan.

Sejak dulu hingga saat ini, mereka bekerja menggunakan peralatan sederhana seperti cangkul.

"Kita punya alat-alatnya kaya gini cangkul, godem di bungkusan karung," kata Andi.

Bila proyeknya besar, Andi dan teman-temannya bisa menginap di sekitar proyek atau rumah sementara yang disediakan bagi pekerja.

Sepi order digerus mesin

Andi merasakan semakin lama orderan galian makin dikit. Ia menduga, para mandor kini lebih memilih menggunakan mesin.

Menggali menggunakan mesin tidak membutuhkan banyak pekerja. Selain itu, lebih cepat selesai.

"Sekarang lagi sepi. Beda sama jaman dulu, gampang (dapat orderan), sekali proyek orang banyak. Kayak gampang banget. Sekarang agak gimana ya, mungkin karena ada mesin-mesin yang kecil itu lebih cepat kerjanya," ucap Andi.

Andi dan teman-temang biasanya menggarap galian di wilayah perkantoran atau perumahan.

Sehari, mereka diberi upah Rp 150.000 sampai Rp 200.000.

Sebagian hasil kerja tersebut dikirim Andi untuk keluarganya di kampung.

Witno (65), tukang gali lainnya mengaku masih semangat bertahan dengan profesinya. Ia enggan mengemis untuk bertahan hidup.

Sama seperti Andi, Witno juga menyisihkan penghasilannya untuk keluarga di kampung.

"Kita kan punya keahlian, ada alat juga. Ya sudah gunakan itu aja untuk bekerja. Yakin lah rezeki gak kemana, walaupun ya selama ini lagi sepi-sepinya order," ucap pria asal Brebes, Jawa Tengah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Motor dan STNK Mayat di Kali Sodong Raib, Keluarga Duga Dijebak Seseorang

Motor dan STNK Mayat di Kali Sodong Raib, Keluarga Duga Dijebak Seseorang

Megapolitan
Terganggu Pembangunan Gedung, Warga Bentrok dengan Pengawas Proyek di Mampang Prapatan

Terganggu Pembangunan Gedung, Warga Bentrok dengan Pengawas Proyek di Mampang Prapatan

Megapolitan
Ponsel Milik Mayat di Kali Sodong Hilang, Hasil Lacak Tunjukkan Posisi Masih di Jakarta

Ponsel Milik Mayat di Kali Sodong Hilang, Hasil Lacak Tunjukkan Posisi Masih di Jakarta

Megapolitan
Pakai Seragam Parkir Dishub, Jukir di Duri Kosambi Bingung Tetap Diamankan Petugas

Pakai Seragam Parkir Dishub, Jukir di Duri Kosambi Bingung Tetap Diamankan Petugas

Megapolitan
Sekolah di Tangerang Selatan Disarankan Buat Kegiatan Sosial daripada 'Study Tour' ke Luar Kota

Sekolah di Tangerang Selatan Disarankan Buat Kegiatan Sosial daripada "Study Tour" ke Luar Kota

Megapolitan
RS Bhayangkara Brimob Beri Trauma Healing untuk Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

RS Bhayangkara Brimob Beri Trauma Healing untuk Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana

Megapolitan
KPU Kota Bogor Tegaskan Caleg Terpilih Harus Mundur jika Mencalonkan Diri di Pilkada 2024

KPU Kota Bogor Tegaskan Caleg Terpilih Harus Mundur jika Mencalonkan Diri di Pilkada 2024

Megapolitan
Pemilik Mobil yang Dilakban Warga gara-gara Parkir Sembarangan Mengaku Ketiduran di Rumah Saudara

Pemilik Mobil yang Dilakban Warga gara-gara Parkir Sembarangan Mengaku Ketiduran di Rumah Saudara

Megapolitan
Sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Kali Sodong, Efendy Pamit Beli Bensin ke Keluarga

Sebelum Ditemukan Tak Bernyawa di Kali Sodong, Efendy Pamit Beli Bensin ke Keluarga

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Prioritaskan Warga Jakarta dalam Rekrutmen PJLP dan Tenaga Ahli

Pemprov DKI Diminta Prioritaskan Warga Jakarta dalam Rekrutmen PJLP dan Tenaga Ahli

Megapolitan
Polisi Kesulitan Identifikasi Pelat Motor Begal Casis Bintara di Jakbar

Polisi Kesulitan Identifikasi Pelat Motor Begal Casis Bintara di Jakbar

Megapolitan
Parkir Sembarangan Depan Toko, Sebuah Mobil Dilakban Warga di Koja

Parkir Sembarangan Depan Toko, Sebuah Mobil Dilakban Warga di Koja

Megapolitan
Terminal Bogor Tidak Berfungsi Lagi, Lahannya Jadi Lapak Pedagang Sayur

Terminal Bogor Tidak Berfungsi Lagi, Lahannya Jadi Lapak Pedagang Sayur

Megapolitan
Duga Ada Tindak Pidana, Kuasa Hukum Keluarga Mayat di Kali Sodong Datangi Kantor Polisi

Duga Ada Tindak Pidana, Kuasa Hukum Keluarga Mayat di Kali Sodong Datangi Kantor Polisi

Megapolitan
Dijenguk Polisi, Casis Bintara yang Dibegal di Jakbar 'Video Call' Bareng Aipda Ambarita

Dijenguk Polisi, Casis Bintara yang Dibegal di Jakbar "Video Call" Bareng Aipda Ambarita

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com