Pasalnya, anak-anak ini tidak sedang memilih sendiri jalan hidupnya, melainkan diboyong oleh orangtua mereka yang ikut tempur di Irak dan Suriah.
Paradigma ini menjadi dasar argumen untuk mendesak agar perlakuan negara terhadap anak-anak mesti dibedakan dengan perlakuan negara terhadap orang dewasa.
"Orang dewasa bisa memilih sendiri, mereka mengerti. Asumsinya mereka mengerti haknya. Kewajibannya seperti apa, mereka mengerti. Ketika dilanggar, konsekuensinya mereka juga mengerti," jelas putri kedua Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.
"Tapi kalau anak-anak, mereka tidak mengerti (hak, kewajiban, dan konsekuensinya)," ia menambahkan.
Belum ada model terapi deradikalisasi anak-anak eks ISIS
Di satu sisi, negara memang harus melindungi anak-anak sebagai kalangan yang menjadi korban atas pilihan orangtuanya bergabung dengan ISIS.
Namun, di sisi lain, pemulangan mereka bukan sekedar mengembalikan tubuh mereka kembali ke Tanah Air.
Anak-anak itu juga perlu dikembalikan kondisi mentalnya karena sekian lama, menurut Yenny, telah terpapar ide-ide kekerasan selama di Irak-Suriah.
"Bagaimana pun, mereka sudah pernah terpapar oleh kekerasan. Jadi, ini (ide kekerasan) pasti sudah ada di kepalanya, terekam dalam alam bawah sadarnya," ujar Yenny.
"Kalau ingin mengembalikan mereka menjadi normal cara berpikirnya, harus lewat terapi yang panjang sekali. Ada banyak sekali sumber daya yang harus kita alokasikan untuk kemudian membuat mereka normal seperti anak-anak lain. Pertanyaannya kita punya enggak?" kata Yenny.
Baca juga: Pemerintah Diminta Matangkan Program Deradikalisasi Sebelum Pulangkan Anak-anak Eks ISIS
ISIS merupakan fenomena baru di dunia. Oleh karenanya, belum pernah ada suatu model terapi anak-anak kombatan eks ISIS yang dapat dirujuk secara global.
Semua negara masih berupaya merumuskan fasilitas, metode, dan sumber daya guna melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri masih membuka kemungkinan pendataan (profiling) lebih detail, karena tak seluruh 689 WNI itu kombatan yang angkat senjata untuk ISIS.
Itu berarti, masih ada peluang, walaupun amat kecil, bagi WNI eks ISIS yang tak terlibat aksi teror untuk pulang ke pelukan Ibu Pertiwi.
"Mungkin, kita (Indonesia) perlu untuk menciptakan model semacam itu. Justru barangkali kita bisa jadi pionir," kata Yenny.