Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[EKSKLUSIF] Buka-bukaan Ayah Korban Soal Pengurus Gereja di Depok yang Cabuli 23 Anak

Kompas.com - 15/07/2020, 07:19 WIB
Vitorio Mantalean,
Jessi Carina

Tim Redaksi


DEPOK, KOMPAS.com – Guntur (bukan nama sebenarnya ) menjadi pionir dalam terkuaknya kejahatan seksual oleh SPM, bekas pembina kegiatan misdinar di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok, Jawa Barat, yang kini telah berstatus tersangka.

Setelah Guntur melaporkan kejahatan seksual oleh SPM terhadap anaknya yang berusia 12 tahun pada Mei 2020 lalu, satu per satu pengakuan dari anak-anak dan keluarga korban lain bermunculan, dibantu oleh tim investigasi internal gereja yang berkomitmen mengusut kejahatan oleh kolega mereka.

Hingga hari ini, kuasa hukum para korban SPM, Azas Tigor Nainggolan mengaku sudah menerima 23 kasus kejahatan seksual oleh si predator seksual anak tersebut di Gereja Herkulanus.

Mereka, termasuk anak Guntur, merupakan anak-anak yang aktif dalam kegiatan misdinar di gereja itu, dengan SPM sebagai pembina kegiatan tersebut.

Baca juga: Sulitnya Mencari Bukti Pencabulan Anak di Gereja Depok dan Pentingnya RUU PKS Disahkan

Diwawancarai Kompas.com pada Minggu (12/7/2020) lalu, Guntur begitu terbuka menceritakan kisah kelam yang dialami oleh anaknya dan berimbas pada keluarga kecilnya.

Meskipun di awal ia terdengar tabah menceritakan aneka modus SPM dalam mencabuli korban-korbannya, namun akhirnya ia mengakui bahwa dirinya turut depresi akibat insiden yang menimpa si kecil.

Selama perbincangan, ia bicara banyak soal predator seksual yang dengan enteng membeberkan kejahatannya, tak pernah meminta maaf, dan malah mengirim kerabatnya mendekati Guntur agar mau “berdamai”.

Di akhir perbincangan, Guntur selaku korban juga angkat suara mengenai penderitaan korban kejahatan seksual di Indonesia yang masih harus berhadapan dengan sistem hukum yang kurang berpihak pada korban.

Baca juga: Cerita Ayah Korban Pencabulan Pengurus Gereja di Depok, Tersangka Tak Minta Maaf, Malah Mau Ajak Damai

Simak cuplikan wawancara eksklusif Guntur dengan Kompas.com:

Bagaimana awal mula kejahatan seksual oleh SPM terhadap anak Anda bisa tercium?

Jadi pertamanya gini, awalnya ada salah 1 misdinar, dia di-bully verbal oleh pelaku (SPM) di grup WhatsApp-nya. Kebetulan keluarga ini dan anaknya dekat dengan keluarga kami. Kemudian, ia mau melapor ke Pastor Paroki untuk komplain masalah anaknya.

Pas mau lapor itu, mereka bertemu dengan salah satu anak eks misdinar yang curiga bahwa pelaku itu berbuat tidak baik sama anak saya. Lalu, ia minta tolong orang tua yang anaknya di-bully itu untuk menanyakannya ke kami.

Akhirnya, kami tanya (ke anak), ternyata benar, sudah dilakukan pelecehan terhadap anak kami ini.

Mengapa anak eks misdinar itu bisa curiga bahwa anak Anda diperlakukan tidak baik oleh SPM?

Karena pada saat itu, anak saya lebih sering bersama dengan pelaku, suka diajak jalan walaupun bareng-bareng. Tapi memang pada saat-saat terakhir, anak saya lebih dekat dengan pelaku, makanya dia curiga.

Dia curiga sebetulnya sudah lama, tapi tidak menyangka sampai sejauh itu. Dia curiga si pelaku ini demen dengan anak-anak karena dilihat suka memangku anak-anak.


Guntur kemudian menceritakan rentetan kejadian pelecehan yang dialami anaknya. Dia ingat, pengakuan itu disampaikan anaknya pada 22 Mei 2020. Anaknya menceritakan seperti apa pelecehan pertama yang dialaminya.

Kejadian itu langsung membuat Guntur dan istri shock. Meski demikian, Guntur terus mengorek pengakuan sang anak. Tanpa dia duga, ternyata pelecehan yang lebih parah terjadi lagi di kemudian hari.

Totalnya ada 3 kejadian pelecehan yang dilakukan SPM terhadap anaknya. Rentetan kejadian itu berlangsung sejak Januari 2020 hingga pertengahan Maret 2020.

Meski demikian, ternyata ada fakta-fakta lain yang belum dia ketahui saat itu. Pelecehan tidak berhenti sampai di situ. Bahkan dia mengetahuinya dari pelaku sendiri.

Baca juga: Orangtua Korban: Pengurus Gereja di Depok Juga Suka Umbar Pornografi di Grup WA

Berikut lanjutan wawancaranya:

Kami komunikasi cukup baik sama anak. Cuma, ada kejadian yang keempat, itu kami tahunya malah dari kesaksian pelaku tanggal 6 Juni 2020 di Ciawi. Itu pertemuan SPM dengan saya dan salah satu saksi yang juga korban. Kami bertemu diatur oleh Pak (Azas) Tigor (Nainggolan, kuasa hukum), Suster Marisa, dan Romo Paroki.

Intinya kami waktu itu supaya dia mau klarifikasi. Awalnya, yang diakui oleh anak saya hanya 3 kejadian.

Ternyata, ada 4 kejadian, dan kejadian keempat dilakukan pelaku 14-15 Maret 2020.


SPM bertemu Anda di Ciawi, bagaimana reaksi dia? Apa penjelasan yang ia berikan atas kejahatannya?

Iya, saya sempat bertemu dengan pelaku. Itu pertama dan terakhir. Dia ceritakan semua dengan gampang.

Dia bilang, kan di situ ada 11 korban dari pengakuan dia. Di situ dia bicara, “si A saya lakukan ini, si B saya lakukan ini, si C saya lakukan ini, sampai akhirnya saya sodomi saya anal,” itu dengan gampang dia bilang.

Baca juga: Ayah Korban Pencabulan Pejabat Gereja di Depok: Anak Saya Dicabuli 4 Kali

Aduh itu manusia. Itu rasanya saya, uh rasanya … Aduh, itu kalau saya tidak ingat anak saya, saya tidak tahu deh, saya habisin kali di situ. Tapi saya harus kuat, saya harus tahan emosi.

Saya sampai keluar ruangan itu, karena saya ngeri saya pukul dia, saya apain dia, dan akhirnya bisa berbalik ke saya. Coba…

Saya sampai keluar, saya masuk kamar mandi, seperti orang gila saya teriak.

Benar-benar deh. Dan kejadian seperti itu terjadi hampir setiap hari. Di tengah malam, saya teriak-teriak.

Saya kan kerjaannya sopir, dan ketika saya mengirim barang, dan saya teringat kelakuan dia terhadap anak saya, saya teriak di jalan, itu sampai hari ini. Sampai saat ini saya masih mengalami kejadian dan momen seperti itu.

Tidak mungkin kan, di depan anak saya, saya seperti itu dan di depan keluarga kan saya harus kuat karena saya tiangnya mereka.

Tapi kan saya juga manusia, dan ketika saya tidak kuat di luar rumah, ya terjadilah seperti itu.

SPM minta maaf di forum itu kepada Anda?

Tidak ada dia minta maaf. Tidak ada. Tidak ada. Enggak pernah.

Sombong pelaku ini. Arogan, mentang-mentang dia kan punya latar belakang hukum (sebagai pengacara).

Jadi, dari (pihak) dia ada yang mau ketemu saya, ada abang dan mamaknya, saya tidak mau, berusaha cari jalan damai.

Damai bagaimana? Mencabut laporan?

Indikasinya ke sana. Saya tidak mau bertemu.


Bagaimana modus SPM mendekati anak Anda?

Dia berusaha mendekatkan anak saya kepada dia. Jadi, dia membentuk “tim informasi” yang isinya 3 orang dan ketuanya anak saya.

Sehingga, anak saya ini mau tidak mau harus selalu berhubungan dan mengadakan rapat dengan dia. Setiap kejadian, saya tanya anak saya, kenapa bisa kamu terus, dia jawab, sudah selesai rapat yang dua disuruh keluar ruangan.

Anak saya mau ikut dengan mereka tetapi ditahan oleh dia, dengan alasan disuruh rapi-rapikan perpustakaan.

Kejadian itu lebih sering di perpustakaan gereja. Itu perpustakaannya di lantai 2, sepi, memang tidak kedengaran kalau teriak dari dalam, saya sudah tes. Pintu kayu semua, tidak ada kaca, dan posisi ruangannya di pojok.

Sebelum berbuat cabul, apakah SPM meneror anak Anda dengan intimidasi atau ancaman jika memberontak?

Iya. Di misdinar kan ada yang senior. Yang senior itu sudah dipukul, ditempeleng, ditendang, kemudian dimarah-marahi dengan kata-kata kasar dan jorok (oleh SPM), dan itu disaksikan oleh anak-anak dan anak saya.

Apalagi, anak-anak di misdinar hanya boleh kegiatan di gereja yaitu di misdinar, padahal di gereja tersebutkan banyak kegiatan.

Kalau dia (anak-anak) ikut kegiatan lain selain misdinar, akan dikeluarkan dan dimarahi oleh dia (SPM).

Saya tanya ke dia, kenapa kamu diam saja (saat dilecehkan)?

Dia jawab, “saya takut”.


Anaknya menceritakan ketakutannya saat mengalami pelecehan itu. Kata Guntur, anaknya tak berteriak karena tidak ada orang yang bisa mendengar. Dia juga takut dengan pelaku yang badannya lebih besar. 

Namun dalam ketakutannya itu, dia juga tidak bisa kabur karena ruangannya dikunci.

Guntur juga mengungkap, ada sebuah grup WhatsApp yang berisi pelaku dan anak-anak misdinar korbannya itu. Grup tersebut tidak boleh dilihat oleh para orangtua. Anak-anak menurutinya karena takut dan tertekan dengan pelaku.

 

Selama rentang 3 bulan SPM melecehkan anak Anda, apakah ia juga mengirimkan pesan WhatsApp tak senonoh, semacam pelecehan secara virtual?

Mas. Bukan kata-kata saja, tapi juga mengirimkan gambar yang tidak senonoh., mulai dari stiker dan foto yang tidak bagus, pokoknya tidak pantas lah anak-anak usia segitu melihat gambar yang seperti itu, dengan kata-kata di chat seperti itu.

Gambar-gambar porno di grup itu banyak. Sayang, gambarnya sudah saya hapus, karena sudah saya berikan ke Komnas HAM.

Itu di grup WhatsApp. Jadi, mereka selalu berkomunikasi melalui grup WhatsApp dan tidak pernah melalui japri, karena dia (SPM) tidak mau kata-katanya ketahuan melalui japri.

Itu di grup yang bertiga (tim informasi) tadi dan grup misdinar. Itu gila tuh. Orang Komnas HAM saja kaget melihat itu. Kayak ada gambar “burung” (alat kelamin pria), perempuan dadanya kelihatan semua, gawat deh.

Barangkali itu alasan SPM mengancam anak-anak agar tak menunjukkan isi grup WhatsApp kepada orangtua mereka?

Iya. Dan sudah begitu, anak-anaknya nurut. Jadi, anak-anaknya ini seperti sudah dicuci otaknya karena ada teror tadi itu.

Gilanya lagi, ada orangtua misdinar juga yang otaknya sepertinya juga tampak ikut tercuci, jadi menganggap dia baik atau apa lah. Kasihan. Saya kenal salah satunya (orangtua korban), kasihan sekali orang tuanya. Akhirnya dia menyadari.

Bahkan, waktu tertangkap pun, saya bertemu dengan dia (orangtua korban), dia masih menganggap (SPM) baik. Baru beberapa hari kemudian, “ini enggak benar ini orang”.

Coba itu, sampai ada orang tua yang ideologinya sampai ...

Memangnya bagaimana pencitraan SPM dan reputasinya selama ini?

Pelaku ini kan memang sopan. Kemudian, dia banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di gereja dan hampir seluruh kegiatan di gereja dia ikut.

Ternyata, dia mengikuti kegiatan-kegiatan di gereja itu, menurut kesimpulan saya sekarang, untuk memantau apakah ada anggota misdinar yang ikut kegiatan lain di luar misdinar. Untuk monitoring.

Makanya. Kok orangtua ini, mungkin ada yang tahu tapi diam, soal perubahan anaknya atau bagaimana. Soalnya, sesudah saya melaporkan, ini baru pada speak-up (ikut buka mulut).

Ini pelaku benar-benar bahaya. Bahaya banget.


Anak Anda sempat tercuci otak juga oleh SPM?

Sempat. Saya kan flashback dan bilang ke anak saya, “kamu dulu sebelum pengakuan ini, kamu marah kalau misalkan dijemput oleh Papa di gereja”. Dia sampai nanya ke istri saya, “ memangnya iya, Ma?”

“Iya kamu berubah, kalau mau dilihat grup WhatsApp-nya tidak boleh dan kamu marah-marah”.

Dia baru sadar belakangan ini, perubahan sikap dia terhadap orangtua.


Anak Anda tahu ada korban-korban lain sebelumnya?

Saya tanya ke anak saya, “menurut kamu, adakah korban yang lain?”. Dia sebutlah anak ini, karena anak ini sering juga diajak pelaku, makan, nonton, dan tipe anak ini tipenya pelaku.

Bagaimana kondisi mental anak Anda setelah pengakuannya, hingga hari ini? Bagaimana ia menghadapi pemeriksaan berkali-kali oleh kepolisian?

Yang paling parah waktu itu, lima sampai enam hari setelah pengakuan itu dia nge-drop, takut dan segala macam. Berangsur-angsur, karena juga dari gereja dan uskup berusaha menata kejiwaannya, anak saya berangsur membaik. Sikap gereja terhadap kami sangat baik mulai dari romo paroki kemudian uskup, sangat baik.

Ini proses BAP (berita acara pemeriksaan) beberapa kali ada penambahan, ada pertemuan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), pada saat itu pasti nge-drop, setelah diminta menceritakan ulang kejadiannya.

Jadi, saya sampai sekarang, istri saya, menjelaskan ke anak saya.

“Hal ini akan terus terjadi sampai selesai di Pengadilan. Kamu harus kuat, sampai saya bilang, kamu belum waktunya untuk melupakan kejadian ini, karena keterangan dari kamu sangat dibutuhkan untuk memberatkan hukuman pelaku. Kalau kamu sampai lemah, kasihan teman-teman kamu yang menjadi korban, nanti pelaku tidak dihukum berat,”.

Saya ini berat, Mas, tetapi saya harus berusaha menjelaskannya ke anak saya.

Saya waktu melapor, orangtua kan penginnya melapor, tapi kan kita juga harus melihat kondisi anak, minta pendapat dia, saya jelaskan kenapa saya harus lapor, bahwa perbuatan ini tidak baik, supaya pelaku terhukum, supaya anak saya juga mengerti bahwa perbuatan ini tidak boleh dia lakukan karena ini ada hukumannya.

Akhirnya anak saya mau. “Iya, Pa, dilaporkan saja supaya nanti tidak ada korban-korban yang lain lagi.”

Saya bilang, “sekarang ini kamu belum bisa lupakan. Kamu harus kuat agar pelaku terhukum berat,”.

Apa keinginan Anda untuk penyelesaian kasus ini?

Yang paling penting, jangan sampai ada korban yang di kemudian hari menjadi terhukum seperti pelaku, karena melakukan hal yang sama seperti pelaku. Jangan sampai. Kayak apa itu? Dia korban, kemudian di kemudian hari dia menjadi terhukum karena dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pelaku terhadap diri dia.

Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa saya melaporkan ini, selain juga untuk pembelajaran anak saya.

Saya mau dia (SPM) itu dihukum seberat-beratnya. Saya setiap hari, setiap saat, kalau korban bertambah, saya selalu takut korban-korban ini akan jadi seperti dia.

Karena, anak mereka belum tentu seperti anak saya yang bisa membuka semua kejadian yang dialami. Ada beberapa orangtua tidak seperti kami dalam hubungannya dengan anak. Ada beberapa anak tidak berani cerita ke orangtuanya.

Ada salah satu saksi yang sekarang sudah dewasa. Dia kejadiannya (dicabuli oleh SPM) 12 tahun yang lalu dan dia tidak cerita sama siapa pun. Akhirnya, dia bertemu dengan saya ketika dia mendengar kabar ini. Akhirnya dia menjadi saksi, dan dia mengaku selama ini menyimpan sendiri. Untung anak itu kuat menghadapi itu semua.

Saya mau pelaku dihukum berat. Banyak anak-anak yang trauma di mata saya.

Kejahatan seksual terhadap anak Anda terpaut 3 bulan sebelum SPM dibekuk polisi. Adakah kesulitan mencari alat bukti?

Ini kan pelecehan seksual. Ini tidak ada buktinya. Dari awal, jadi termasuk Romo Paroki juga dan Pak Tigor kemudian Suster Marisa dan saksi korban bersama dengan kami berusaha mencari bukti-bukti.

Kami juga berusaha mencari ide-ide yang akhirnya bisa membuat pelaku sampai mau datang dengan kami di pertemuan tadi (6 Juni 2020 di Ciawi) dan akhirnya dia menjelaskan.

Pemerintah sudah seharusnya membuat undang-undang yang … Pelecehan seksual anak ini kan tidak ada buktinya. Jadi, jangan sampai harus ada bukti dulu, baru pelaku ditahan.

Pelaku ditahan dulu, sambil mencari bukti-bukti lain. Kalau pelaku tidak ditahan dulu, dia bisa bebas ke mana-mana karena lemahnya undang-undang pelecehan seksual terhadap anak.

Seperti yang saya alami ini. Saya puluhan hari mencari bukti-bukti sampai tidak kerja dan bagaimana pun caranya kami harus mencari bukti-bukti. Capek.

Ini saja padahal saya tidak sendiri, sudah didukung oleh orang-orang seperti Pak Tigor, Suster Marisa, dan pastor Paroki. Kita semua capek dan stres.

 

Apa alat bukti lain yang akhirnya berhasil Anda peroleh selain pengakuan SPM?

Barang bukti, akhirnya, pertama, pengakuan pelaku. Kedua, kaos. Baju kaos itu dipakai saat pelaku klimaks dan dipakai untuk mengelap spermanya dia.

Barang bukti itu ditemukan di perpustakaan ketika anak saya ingat, pada bulan Juni waktu dia diterapi oleh psikolog dari LPSK.

Seandainya kain tersebut tidak ada, aduh itu tambah berat. Anak saya tiba-tiba ingat. Jago psikolog itu. Jadi, kurang lebih sebulan anak saya baru ingat (ada barang bukti kaos). Itu penuh dengan bercak sperma dia (SPM).

Dan hasil penelitian di laboratorium polisi sudah keluar. Hasilnya bahwa hasil tes DNA, itu sperma pelaku.

Karena barang bukti dalam kasus seperti ini kan hanya omongan saja, pengakuan saja. Makanya undang-undang harus mulai diubah, soalnya hanya dengan pengakuan itu pelaku bisa ditahan dulu, agar dia tidak bebas dan bisa ke mana-mana buron.

Mau tidak mau. Ini kelemahan undang-undang soal pelecehan seksual ini.

Terima kasih, Pak, telah mau bercerita mengenai kasus ini.

Sama-sama, ini merupakan terapi juga buat diri saya, jujur saja.

Pemerintah dan orang-orang tidak pernah tahu, karena dipikirnya hanya korban saja yang butuh diterapi. Sebenarnya, orangtua korban juga perlu diterapi. Sejauh ini saya diterapi dari gereja saja.

Selama ini hanya korban yang dipikirkan, tetapi tidak pernah dipikirkan bagaimana bapaknya, ibunya, orangtuanya, keluarganya.

Ini salah satu kelemahan juga di kita (Indonesia), dengan apa yang saya alami, makanya saya bisa ngomong begitu. Jadi bukan hanya anak saya yang perlu terapi. Saya juga perlu terapi dan istri saya juga perlu terapi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Megapolitan
Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Megapolitan
Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Megapolitan
Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Megapolitan
Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Megapolitan
Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Megapolitan
Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Megapolitan
Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Megapolitan
Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Megapolitan
Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Megapolitan
Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Megapolitan
Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Megapolitan
Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Megapolitan
Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Megapolitan
Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, 'Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan'

Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, "Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com