JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta, Ellen Hidayat, heran bahwa mal selalu menjadi sasaran pembatasan dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah sangat membatasi kegiatan jual beli di mal tetapi tidak di pusat perbelanjaan lain seperti pasar tradisional.
"Mal ini kenapa ya jadi sasaran terus? Apa biar ada gaungnya di media?" kata Ellen kepada Kompas.com, Senin (26/7/2021).
Dalam aturan terbaru Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 periode 26 Juli-2 Agustus 2021, mal masih belum boleh beroperasi kecuali akses ke pasar swalayan dan restoran. Restoran yang berada di dalam mal juga hanya diperkenankan untuk memberi layanan take away atau delivery.
Baca juga: Pengusaha Mal di Jakarta Tak Setuju Pengunjung Harus Tunjukkan Sertifikat Vaksin
Namun Ellen menyoroti langkah pemerintah yang membolehkan pasar rakyat dan pasar tradisional beroperasi.
"Padahal pasar tradisional itu kan dari awal pandemi selalu penuh. Prokesnya bagaimana, sulit diawasi," kata dia.
Ellen berani menjamin penerapan protokol kesehatan di mal di Jakarta jauh lebih ketat dibandingkan pasar tradisional. Bahkan, ia menyebut mal sudah keluar uang banyak untuk memodifikasi tombol touchless sensor di lift, menambah petugas keamanan, hingga memvaksinasi seluruh pekerja.
"Vaksinasi itu kan vaksinnya kami memang dapat gratis. Tapi tenaga kesehatannya kami bayar sendiri ke rumah sakit," ujar dia.
Ellen juga menyoroti adanya garis abu-abu antara pusat perbelanjaan yang disebut sebagai mal dan pasar rakyat. Ia mencontohkan Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat yang kini sudah boleh beroperasi karena dikategorikan sebagai pasar rakyat.
Baca juga: Mal Boleh Buka Terbatas di Wilayah PPKM Level 3 Jawa-Bali
Sementara pusat perbelanjaan seperti ITC (International Trade Center) belum bisa beroperasi karena dikategorikan sebagai mal.
"Padahal, sebenarnya Pasar Tanah Abang dan ITC itu kan sama saja. Jadi muncul guyonan di kalangan asosiasi untuk mengubah saja nama depannya menjadi pasar supaya diperbolehkan beroperasi," kata Ellen.
Dia menyadari mal selama ini kerap diasosiasikan sebagai tempat bisnisnya para pengusaha besar sehingga dianggap lebih bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19. Namun, ia mengingatkan bahwa sebenarnya banyak tenant di mal juga sudah tidak lagi mampu untuk menggaji karyawan jika mal terus ditutup.
Akhirnya, penutupan mal ini pun berdampak pada para karyawan yang juga adalah rakyat kecil.
"Karyawan tenant yang gajinya UMP, kalau dia dirumahkan, tidak digaji, punya anak dua, bagaimana bisa bertahan?" ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.