Namun, selama pandemi, barang dagangannya laku saja susah.
Seringkali, Abit hanya mengantongi penghasilan Rp 30.000 setelah berjualan hingga sore.
"Sehari kadang-kadang laku tiga ini. Ini aja belum ada yang beli," kata Abit sembari menunjukkan barang daganganya berupa tisu dan masker.
Satu plastik tisu dan masker ia jual dengan harga Rp 10.000.
Selama pandemi, ia tidak berani membawa barang dagangan banyak.
"Lakunya enggak tentu juga. Saya nggak bisa nentuin (penghasilan)," kata Abit.
Sebelum pandemi, Abit tak terlalu sulit menjual dagangannya. Mangkal di suatu tempat, barang dagangannya bisa cepat habis.
"Dulu pas mangkal di Buaran itu laku terus setiap hari. Sekarang pas pandemi bawanya dikit," ujar dia.
Selama berjualan, banyak orang baik yang ia temui di jalan.
Seringkali, ada orang yang membeli dengan uang berlebih.
"Pas dikasih (uang) kembalian, nggak mau," ujar Abit.
Tak jarang juga, Abit diberi nasi oleh orang-orang yang tidak ia kenal selama di jalan.
"Kalau orang ngasih, biasanya bentuknya makanan," kata dia.
Abit memiliki warung kelontong di kediamannya. Warung kelontong itu dijaga istrinya, Inah (56), perempuan yang ia nikahi pada 2011.
Meski memiliki warung kelontong, Abit belum ada keinginan berhenti berjualan menggunakan kursi roda.