Persepsi positif ini kemudian menjadi landasan sosial untuk menjalin hubungan yang lebih dalam atau mencapai kepentingan yang lebih luas dengan negara lain.
Diplomasi publik berbeda dengan diplomasi tradisional. Dalam diplomasi tradisional, pelaku utamanya adalah pemerintah.
Diplomasi tradisional dilakukan oleh pemerintah satu negara terhadap pemerintah negara lain. Sedangkan dalam diplomasi publik, masyarakat juga dilibatkan.
Jadi, diplomasi publik tidak hanya dilakukan oleh pemerintah untuk memengaruhi publik domestik atau publik asing, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat satu negara untuk memengaruhi masyarakat di negara lain.
Menurut Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, diplomasi publik bertujuan mencari teman dari kalangan masyarakat di negara lain untuk mempererat hubungan dengan negara lain tersebut.
Karena dilakukan oleh masyarakat, diplomasi publik dikenal sebagai diplomasi jalur kedua (second track diplomacy).
Sedangkan diplomasi jalur pertama (first track diplomacy) dilakukan oleh pejabat pemerintah seperti menteri luar negeri.
Keberadaan diplomasi publik tidak bisa menggantikan keberadaan diplomasi tradisional sebagai diplomasi jalur pertama.
Sebagai diplomasi jalur kedua, diplomasi publik berperan dalam membantu para diplomat dalam bernegosiasi untuk mencapai kepentingan luar negerinya, seperti mengundang investor dari negara lain untuk menanamkan modalnya.
Dalam suatu diskusi virtual, diplomat Nurmala Kartini Sjahrir bercerita bahwa ia memanfaatkan popularitas singkong dalam berdiplomasi ketika ia menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Argentina, Paraguay dan Uruguay pada tahun 2010-2014.
Alasannya ialah warga Indonesia, Paraguay dan Uruguay sama-sama suka mengolah singkong sebagai bahan pangan.
Nurmala mengatakan bahwa dalam bernegosiasi, obrolan-obrolan santai dan ringan tentang singkong bisa menjadi pintu pembuka untuk membicarakan topik-topik lain yang lebih luas dan sekaligus mempererat hubungan antar kedua negara.
Selain makanan, produk-produk budaya lain yang juga sering digunakan sebagai kekuatan lunak untuk membentuk citra positif adalah film, mode dan musik.
Akan tetapi, pelaku diplomasi publik tidak hanya para pekerja seni saja. Akademisi, wartawan dan ulama juga bisa melakukan diplomasi publik melalui karya-karyanya seperti jurnal penelitian dan laporan berita.
Indonesia dianugerahi ragam produk kuliner yang berlimpah. Namun sayangnya, anugerah dari Tuhan ini belum dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh masyarakat dan pemangku kepentingan sebagai instrumen diplomasi, baik yang bersifat tradisional maupun publik, untuk meningkatkan citra Indonesia sebagai surga kuliner dan memberi keuntungan ekonomi sebesar-besarnya untuk bangsa ini.
Pemanfaatan tata boga untuk berdiplomasi dikenal sebagai gastrodiplomasi atau diplomasi gastronomi.
Fakta bahwa Indonesia memiliki lebih dari 77 sumber karbohidrat, 65 jenis rempah-rempah, 273 jenis sayuran, dan 400 jenis buah-buahan sebetulnya adalah sumber kekuatan Indonesia dalam gastrodiplomasi.
Akan tetapi, mengandalkan kekayaan kuliner dan keragaman bahan pangan saja tidak cukup. Kekayaan kuliner dan keragaman bahan pangan perlu dilengkapi dengan narasi cerita yang kuat agar aspek sejarah dan budaya yang berada di balik dua kekuatan ini bisa ikut disosialisasikan dan disebarluaskan.
Semakin banyak orang di luar Indonesia yang mengenal ragam kuliner Nusantara, semakin besar pula keuntungan ekonomi yang Indonesia bisa dapatkan. Salah satu keuntungan tersebut ialah pendapatan devisa.
Indonesia perlu belajar dari China dan Jepang karena China berhasil mempromosikan masakan bebek dan Jepang berhasil mempromosikan sushi ke level global.