JAKARTA, KOMPAS.com - Taman Kencana adalah taman kecil di area hijau Kota Bogor yang dari sisi popularitas jelas kalah masyhur dibanding Kebun Raya Bogor.
Kendati demikian, taman yang berada di wilayah Sempur, Bogor Tengah, itu memiliki nilai sejarah tak kalah penting dengan Kebun Raya Bogor.
Bahkan, taman ini menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan kota di sekelilingnya, yang terentang dalam kurun puluhan tahun.
Terdapat sejumlah bangunan tua di sekitar Taman Kencana. Bangunan-bangunan itu berupa rumah atau kantor yang telah berusia lebih dari 50 tahun.
Bangunan-bangunan tua tersebut memiliki gaya arsitektur campuran, antara gaya kolonial indische dan rumah tropis.
Baca juga: 4 Wisata Bogor Selatan, Cocok untuk Liburan Keluarga
Elemen paling khas dalam gaya arsitektur campuran ini ialah atap bangunan berkemiringan sekitar 45 derajat.
Dikutip dari harian Kompas, keberadaan bangunan-bangunan asli itu, menurut Imanda Pramana konsultan mitra Pemerintah Kota Bogor, membuat kawasan itu spesial.
"Rasanya nyaris tak ada kompleks bangunan indische lain sebanyak di Taman Kencana," katanya.
Dari seluruh bangunan yang ada di Taman Kencana, terdapat empat bangunan di antaranya bisa dikatakan bernilai sejarah tinggi.
Empat bangunan itu adalah gedung Badan Pertanahan Nasional Bogor (Gedung Blenong), gedung Radio Republik Indonesia Bogor, gedung Pusat Studi Biofarmaka (PSB) Institut Pertanian Bogor (IPB) Kampus Taman Kencana, dan kantor Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI).
Baca juga: Kebun Raya Bogor Buka Lagi Taman Tumbuhan Pemakan Serangga
Di luar empat gedung bersejarah itu, sebagian besar bangunan asli itu berupa rumah-rumah tempat tinggal komunitas Belanda (Eropa) di Bogor pada masa kolonial.
Kini, sebagian rumah itu difungsikan sebagai kantor-kantor lembaga swadaya masyarakat, terutama yang bergerak di bidang pelestarian flora dan fauna, kajian kehutanan, perkebunan, pertanian, dan lingkungan hidup.
Gedung PSB dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1928 sebagai Nederlands Indische Veartsen School (NIVS) atau Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda.
Pada 1942, Jepang mengganti nama NIVS menjadi Bogor Jyui Gakko.
Tahun 1945, saat Republik Indonesia merdeka, nama institusi itu berubah lagi menjadi Sekolah Dokter Hewan yang setahun kemudian menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH).
Baca juga: Tanam Pohon di Istana Bogor, PM Palestina: This is The Tree of Jerusalem in The Heart of Indonesia
Pada 1950, PTKH berubah lagi menjadi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia. Pada 1963, IPB berdiri dengan lima fakultas dari UI, termasuk Fakultas Kedokteran Hewan.
Di samping gedung PSB terdapat kantor BPBPI yang didirikan pada 1926 oleh arsitek FJL Ghijsels. Arsitek keturunan Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, itu dikenal juga mendesain Stasiun Jakarta Kota (Beos).
Dinding luar gedung bercat putih itu berhias lempeng batu kali dicat hitam sehingga menampilkan motif tutul hitam putih.
Gedung beratap genting tanah liat itu dibangun sebagai konsekuensi atas pendirian enam lembaga penelitian perkebunan pemerintah kolonial Belanda.
Baca juga: Bisakah Beli Tiket Kebun Raya Bogor Langsung Tanpa Online?
Di gedung BPBPI itu terdapat foto yang menunjukkan pohon karet pertama di Indonesia ditanam di halaman gedung. Namun, pohon karet itu kini sudah mati dan musnah.
Di sekitar gedung induk berdiri rumah-rumah yang dulunya menjadi tempat tinggal para peneliti dan pegawai sekolah atau lembaga penelitian.
Jaringan jalan di kawasan Taman Kencana relatif sempit karena memang tidak dirancang untuk dilintasi kendaraan bermotor besar, seperti mobil, bus, dan truk.
Dulu, para peneliti, pegawai, atau pelajar di lembaga-lembaga penelitian itu bersepeda ke tempat aktivitas masing-masing.
Sejak dekade 1980-an, sejumlah bangunan indische tropis di Taman Kencana mulai dijual oleh pemilik lama. Bangunan-bangunan itu kemudian dihancurkan pemilik baru, dan dijadikan bangunan komersial, seperti hotel atau rumah model baru.
Baca juga: Rute dan Fasilitas Devoyage, Tempat Wisata Bogor dengan 150 Spot Foto Instagramable
Perubahan itu juga memicu kemunculan kafe, restoran, bahkan lembaga pendidikan, yang menjamur di sekitar taman.
Saat ini, masih ada harapan menyelamatkan bangunan-bangunan antik dan bersejarah di Taman Kencana.
(Kompas: Ambrosius Harto)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.