JAKARTA, KOMPAS.com - Eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara mempertanyakan soal tidak adanya niat untuk menukar barang bukti sabu menjadi tawas, menurut perspektif ahli pidana.
Hal ini disampaikannya, saat diberi kesempatan bertanya kepada saksi ahli pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu (8/3/2023).
Adapun Dody merupakan terdakwa kasus peredaran sabu yang dikendalikan mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa.
"Bagaimana jika bawahan sama sekali tidak ada niat, bahkan menolak kemudian berusaha mengirimkan barang bukti untuk ke Kejari," ujar Dody dalam persidangan.
"Sudah pindahkan barangnya kemudian tidak jadi, dan sampai sekarang pun tidak ada niat, hanya murni karena ketakutan psikis yang begitu besar. Bagaimana menurut pendapat Ibu?" sambung dia.
Baca juga: Makna Tukar Sabu Jadi Tawas Teddy Minahasa, Ahli: Sudah Jelas Sebuah Perintah
Mendengar pertanyaan Dody, Eva merujuk pada teori vis absoluta yang disusun Lamintang.
Menurut Eva, ada satu tekanan psikis yang membuat seseorang melakukan tindak pidana.
Namun, Lamintang dalam bukunya hanya menyebut dua bentuk yang melatarbelakangi tindak pidana karena tekanan psikis yaitu orang yang dihipnotis dan orang yang diberikan obat-obatan.
"Sehingga dia menuruti apa yang kemudian diperintahkan kepada orang yang memberi, atau mencekoki obat itu kepada dia. Itu contohnya, Yang Mulia," urai Eva.
Baca juga: Ahli Ungkap Arti Hi-hi-hi dalam Percakapan Teddy Minahasa dengan AKBP Dody
Sebab, kemampuan untuk mengelak atas perintah yang diberikan menjadi salah satu syarat subsidiaritas.
Eva berpandangan, selama seseorang memiliki cara lain untuk mengelak perintah yang salah, maka dia harus menolak.
"Apakah ada cara lain yang bisa dilakukan dibanding menuruti apa yang diperintahkan? Sepanjang ada cara lain, menuruti perintah itu menjadi keliru," paparnya.
Oleh karenanya, kata Eva, meski tidak ada niatan, tindakan itu tetap tak dibenarkan.
"Satu perbuatan yang meskipun tanpa niat tapi digerakkan oleh atasan, meskipun dilakukan dalam bahasa awam enggan atau dalam hati tidak mau sepanjang dalam satu syarat tadi, tetap keliru dalam hukum pidana," jelas Eva.
Baca juga: Reaksi Hotman Saat Percakapan Teddy dan AKBP Dody Dibuka oleh Ahli Forensik Digital: Tak Sah!
Sebagai informasi, Teddy dan Dody saling lempar tuduhan dalam pusaran kasus narkoba yang menjerat keduanya.
Teddy menyatakan tidak terlibat dalam kasus peredaran narkoba, sedangkan Dody mengaku menyisihkan barang bukti sabu untuk dijual atas perintah Teddy.
Menurut jaksa dalam dakwaannya, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy.
Baca juga: AKBP Dody Bacakan Surat dari Teddy Minahasa, Isinya Ajakan Bersekutu
Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
Teddy dan para terdakwa lainnya didakwa melanggar Pasal 114 Ayat 2 subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1, juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.