JAKARTA, KOMPAS.com - Museum Fatahillah yang terletak di kawasan Kota Tua Jakarta menjadi salah satu destinasi wisata favorit bagi masyarakat untuk mengisi libur Lebaran 2023.
Beragam kegiatan dapat dilakukan di sana. Mulai dari sekadar duduk-duduk bercengkerama, berswafoto dengan latar belakang bangunan tua, menyewa sepeda, menikmati beragam atraksi, hingga menyantap kuliner kaki lima yang ada.
Namun siapa sangka, kawasan itu pernah dijadikan lokasi eksekusi hukuman mati dengan cara digantung oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Lantas, tahukah para wisatawan mengenai sejarah itu?
Baca juga: Kisah Rifa-Kayla Berpacaran di Kota Tua: Main Sepeda Meski Diterpa Cuaca Panas
Munawil Abdullah (51), salah seorang wisatawan lokal, mengaku tidak tahu akan informasi itu. Ia hanya mengetahui bahwa bangunan yang kini bernama Museum Fatahillah itu adalah kantor pemerintahan Belanda.
"Kalau lokasi eksekusi, saya enggak tahu. Yang saya tahu ini tempat pemerintahan di zaman Belanda," ujar Munawil saat ditemui Kompas.com, Selasa (25/4/2023).
Ia lantas mencari informasi itu di internet. Setelah sempat membaca informasi yang tersedia, Munawil mengaku terkejut.
Ia tidak menyangka tempat yang dipijaknya saat ini pernah menjadi area eksekusi mati orang-orang yang dicap penjahat oleh pemerintahan Belanda.
Hal senada juga diungkapkan Wandi (31). Warga Jakarta Utara itu juga sebatas mengetahui bangunan Museum Fatahillah dahulu merupakan kantor pemerintahan kolonial.
"Kurang tahu (soal lokasi eksekusi mati), tahunya cuma tempat pemerintahan zaman Belanda," tutur Wandi.
Baca juga: Tak Hanya Jalan-jalan, Pengunjung Juga Bisa Belajar Sejarah saat Keliling Kota Tua Jakarta
Wandi tertarik dengan informasi baru itu. Ia mengaku, memiliki ketertarikan dengan sejarah, salah satunya sejarah di Jakarta.
Atas alasan itulah ia mengajak anak-anaknya untuk pergi berwisata ke Museum Fatahillah ini. Harapannya, anak-anaknya mampu mengenal sejarah kota tempat mereka tinggal.
"Biar pun enggak tahu (pernah jadi tempat eksekusi), enggak apa-apa deh pengin ke sini biar anak-anak tahu tempat-tempat sejarah. Bagaimana juga kondisi Kota Tua," ucap Wandi lagi.
Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah adalah salah satu museum ikonik yang terkenal di wilayah Jakarta Barat, tepatnya di tengah-tengah kawasan Kota Tua.
Museum yang dulunya merupakan Gedung Balai Kota pada era pemerintahan VOC di Batavia itu sering kali menjadi latar bagi wisatawan untuk berswafoto saat berkunjung ke Kota Tua.
Baca juga: Arena Hukuman Gantung Itu Kini Jadi Tempat Wisata, Museum Sejarah Jakarta
Namun, Museum Sejarah Jakarta menjadi saksi bisu berbagai kisah mengerikan pada masa silam yang tidak banyak orang tahu, salah satunya arena hukuman gantung bagi penjahat.
Dalam buku Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen, Justus van Maurik menuliskan sebuah cerita tentang hukuman gantung yang dilihatnya langsung di halaman stadhuis (kini menjadi gedung Museum Sejarah Jakarta).
"Langit di luar masih gelap ketika saya terbangun oleh bunyi terompet kavaleri yang melewati Molenvliet. Ketika itu pukul 05.30…Saya jadi teringat pada pembicaraan semalam di societeit. Rencananya pukul 07.00 pagi ini seorang China bernama Tjoe Boen Tjiang akan dihukum mati karena beberapa bulan lalu merampok dan membunuh dua wanita,” demikian tulisan yang ada di dalam buku Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen.
Van Maurik juga menggambarkan trem uap yang sepagi itu sudah sarat penumpang dari Kramat menuju Balai Kota Batavia demi menonton hukuman gantung.
Van Maurik menulis, ia bimbang saat baboe di mana ia tinggal selama di Batavia mengajaknya bergegas demi melihat hukuman gantung yang belum pernah ia lihat di tanah kelahirannya, Belanda.
Baca juga: BERITA FOTO: Menikmati Libur Lebaran di Kota Tua Jakarta
Namun, akhirnya ia sampai juga di stadhuisplein, alun-alun balai kota. Di sana sudah banyak orang berkumpul, baik Eropa, Arab, Keling, Tionghoa, sampai pribumi.
Dalam jurnal yang ia tulis saat bertandang ke Batavia di akhir abad 19 itu, van Maurik benar-benar melukiskan semua kejadian yang baru pertama kali ia lihat secara detil.
Namun dalam buku aslinya, di mana ia menuliskan judul Een Executie pada awal kisah ini, memang tertulis jelas bagaimana van Maurik terkesima, bahkan “dihantui” oleh wajah Tjoe Boen Tjiang alias Impeh, orang yang dihukum gantung.
Van Maurik menuliskan secara rinci bagaimana ia mencari tempat agar bisa melihat proses eksekusi hukuman gantung itu dari dekat dan lebih jelas.
Ia menulis, “ ‘t Is een flinke knappe jonge man met een gunstig uiterlijk,” demikian sebagian dari kalimat yang ia tulis di halaman 179.
Kalimat itu menggambarkan bahwa si Impeh itu ternyata pemuda tampan dan tinggi besar.
Si Impeh tak terlihat gentar menghadapi maut, ia bahkan sempat mengisap cerutu sebelum naik ke panggung kematian.
Baca juga: Area Kota Tua Masih Dipadati Wisatawan di H+4 Lebaran
Pakaiannya serba putih dengan kuncir diikat dengan pita merah. Pada bagian lain van Maurik juga mengakui bahwa dirinya begitu terkesima dengan keberanian Impeh, tetapi juga merasa iba kepadanya.
Maurik kemudian menampik sendiri simpati itu jika mengingat bahwa pemuda itu pada kenyataannya telah berbuat jahat, yakni membunuh dua perempuan sekaligus dengan keji dan merampok pula.
Ketika mata van Maurik melihat proses kematian Impeh, ia menuliskan, wajah (Impeh) tiba-tiba berubah merah darah, matanya melotot, dan lidahnya menjulur.
Sungguh pemandangan yang mengerikan. Kemudian, si penjagal menutupi wajah dan kepala Impeh, tetapi van Maurik tak bisa melepas ingatan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.