Saat itu, salah satu dari mereka memanggil Sudarsono dan menanyakan mengapa ia berada di lokasi kejadian.
Sudarsono pun menjawab bahwa ia sedang berjualan nasi uduk bersama temannya.
"Saya langsung disuruh minggir dan pergi dari sana. Celurit saat itu ditempel ke leher dan perut, saya diancam. Katanya, kalau enggak lari, saya bakal diabisin. Ya saya langsung lari," ucap dia.
Sudarsono dan temannya langsung bergegas merapikan seluruh dagangan dan beranjak kabur dari sana.
"Makanya harus hati-hati kalau merantau ke Jakarta," imbau dia.
Saat ini, Sudarsono sudah berada di Jakarta selama 28 tahun.
Baca juga: Tahun Depan, Disdukcapil DKI Akan Godok Perda Pembatasan Pendatang di Ibu Kota
Dari pengalamannya membantu teman berdagang nasi uduk, Sudarsono berhasil mendapat pekerjaan sebagai pelayan di sebuah restoran selama enam bulan.
Gajinya berkisar Rp 700.000-Rp 800.000 per bulan, yang mana menurut Sudarsono nominal itu termasuk besar pada tahun 1995.
Lantaran ingin mencari gaji yang lebih besar demi bisa hidup di Jakarta, Sudarsono kerap berganti-ganti pekerjaan.
Usai memiliki tabungan yang cukup, Sudarsono berhasil memiliki tempat tinggal sendiri di Jakarta Utara.
"Awal tinggal di Jakarta Pusat, sampai pada tahun 2000-an, baru pindah ke Jakarta Utara dan langsung urus KTP Jakarta Utara," Sudarsono berujar.
Baca juga: 20 Persen Pendatang di Ibu Kota Disebut Bermukim di Tempat Kumuh
Pada 2007, ia bekerja di sebuah perusahaan konstruksi. Hingga kini, ia masih bertahan di sana dengan gaji Rp 5 juta per bulan.
"Saya masih kerja di bidang konstruksi di perusahaan yang sama. Sekarang pendapatan per bulan Rp 5 juta," jelas dia.
"Alhamdulillah gaji saya cukup untuk menafkahi keluarga. THR untuk anak-anak juga lancar termasuk untuk yang udah kuliah," sambung Sudarsono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.