Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Sudarsono Merantau ke Jakarta Tahun 1995: Sering Ditodong Preman, Pernah Juga Ditodong Celurit...

Kompas.com - 30/04/2023, 15:06 WIB
Nabilla Ramadhian,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada sebuah kenangan yang membekas di benak Sudarsono (53) saat ia pertama kali tiba di Jakarta.

Adapun Sudarsono merantau dari Kediri, Jawa Timur, ke Jakarta bersama temannya pada 1995.

"Kalau sekarang, Jakarta enggak kayak waktu saya pertama kali datang pas 1995. Masih banyak preman dulu, di mana-mana bakal dipalak," tutur dia di Terminal Pulogebang, Jakarta Timur, Jumat (28/4/2023).

Sebagai seorang perantau, Sudarsono kerap menjadi korban pemalakan.

Ia mengaku, hal ini karena ia kurang persiapan sebelum merantau ke Ibu Kota demi mencari peruntungan.

Namun, Sudarsono tidak tinggal diam dan kerap melawan setiap dipalak.

Pernah ditodong celurit

Sudarsono nekat merantau mencari peruntungan di Ibu Kota tanpa persiapan apa pun, termasuk keahlian atau pengalaman kerja.

Pada saat itu, hanya temannya saja yang sudah mempersiapkan diri.

Walhasil, ia bisa membuka warung tenda dan menjual nasi uduk di kawasan Jakarta Pusat.

"Saya dulu hanya bantuin aja, namanya masih nganggur belum dapat kerja. Bayarannya sesuap nasi dan tempat untuk tidur," ungkap Sudarsono.

Baca juga: Pendatang di Ibu Kota Akan Diwajibkan Punya Pekerjaan, Ini Alasannya...

Selama membantu temannya berdagang nasi uduk, Sudarsono tidak andil dalam kegiatan belanja bahan pangan.

Ia hanya ditugaskan untuk membantu melayani para konsumen membeli nasi uduk yang dahulu dibanderol seharga Rp 5.000 per bungkus.

Lokasi Sudarsono dan temannya berjualan nasi uduk berada di dekat sebuah diskotik.

Walhasil, berhadapan dengan beberapa pembeli yang berada dalam kondisi mabuk sudah menjadi hal yang biasa.

Namun, ada satu waktu ketika Sudarsono ditodong celurit oleh beberapa orang yang sedang bertengkar.

Baca juga: Saat Jakarta Terbuka bagi Pendatang Terampil, tetapi Tertutup bagi Pemulung...

Saat itu, salah satu dari mereka memanggil Sudarsono dan menanyakan mengapa ia berada di lokasi kejadian.

Sudarsono pun menjawab bahwa ia sedang berjualan nasi uduk bersama temannya.

"Saya langsung disuruh minggir dan pergi dari sana. Celurit saat itu ditempel ke leher dan perut, saya diancam. Katanya, kalau enggak lari, saya bakal diabisin. Ya saya langsung lari," ucap dia.

Sudarsono dan temannya langsung bergegas merapikan seluruh dagangan dan beranjak kabur dari sana.

"Makanya harus hati-hati kalau merantau ke Jakarta," imbau dia.

Saat ini, Sudarsono sudah berada di Jakarta selama 28 tahun.

Baca juga: Tahun Depan, Disdukcapil DKI Akan Godok Perda Pembatasan Pendatang di Ibu Kota

Dari pengalamannya membantu teman berdagang nasi uduk, Sudarsono berhasil mendapat pekerjaan sebagai pelayan di sebuah restoran selama enam bulan.

Gajinya berkisar Rp 700.000-Rp 800.000 per bulan, yang mana menurut Sudarsono nominal itu termasuk besar pada tahun 1995.

Lantaran ingin mencari gaji yang lebih besar demi bisa hidup di Jakarta, Sudarsono kerap berganti-ganti pekerjaan.

Usai memiliki tabungan yang cukup, Sudarsono berhasil memiliki tempat tinggal sendiri di Jakarta Utara.

"Awal tinggal di Jakarta Pusat, sampai pada tahun 2000-an, baru pindah ke Jakarta Utara dan langsung urus KTP Jakarta Utara," Sudarsono berujar.

Baca juga: 20 Persen Pendatang di Ibu Kota Disebut Bermukim di Tempat Kumuh

Pada 2007, ia bekerja di sebuah perusahaan konstruksi. Hingga kini, ia masih bertahan di sana dengan gaji Rp 5 juta per bulan.

"Saya masih kerja di bidang konstruksi di perusahaan yang sama. Sekarang pendapatan per bulan Rp 5 juta," jelas dia.

"Alhamdulillah gaji saya cukup untuk menafkahi keluarga. THR untuk anak-anak juga lancar termasuk untuk yang udah kuliah," sambung Sudarsono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Ada 292 Aduan Terkait Pembayaran THR 2024 Lewat Website Kemenaker

Megapolitan
Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Bantah Gonta-ganti Pengurus Tanpa Izin, Ketua RW di Kalideres: Sudah Bersurat ke Lurah

Megapolitan
Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Pelaku Pelecehan Payudara Siswi di Bogor Diduga ODGJ, Kini Dibawa ke RSJ

Megapolitan
Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Longsor di New Anggrek 2 GDC Depok, Warga: Sudah Hubungi Semua Pihak, Tidak Ada Jawaban

Megapolitan
Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Cuaca Panas Ekstrem di Arab Saudi, Fahira Idris Minta Jemaah Haji Jaga Kondisi Fisik

Megapolitan
Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Mahasiswa Dikeroyok di Tangsel, Setara Institute Minta Hentikan Narasi Kebencian Pemicu Konflik

Megapolitan
Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Khawatir Kalah karena Politik Uang, Hanya 1 Kader PKB Daftar Pilkada Bogor

Megapolitan
Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Dari 11, 4 Aduan Pekerja di Jakarta Terkait Pembayaran THR 2024 Telah Ditindaklanjuti

Megapolitan
Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Ketum PITI Diperiksa Polisi Terkait Laporan Terhadap Pendeta Gilbert

Megapolitan
Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Lurah di Kalideres Tak Masalah jika Digugat soal Penonaktifan Ketua RW, Yakin Keputusannya Tepat

Megapolitan
Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Polisi Selidiki Kepemilikan Pelat Putih Mobil Dinas Polda Jabar yang Kecelakaan di Tol MBZ

Megapolitan
Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Hanya 1 Kader Daftar Pilkada Bogor, PKB: Khawatir Demokrasi Rusak seperti Pemilu

Megapolitan
Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Pemkot Tangsel Bakal Evaluasi Ketua RT-RW Imbas Pengeroyokan Mahasiswa

Megapolitan
Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Meski Tersangka Sudah Ditetapkan, Polisi Sebut Penyidikan Kasus Tewasnya Taruna STIP Belum Final

Megapolitan
Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, 'Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan'

Mengingat Lagi Pesan yang Ada di STIP, "Sekolah Ini Akan Ditutup Jika Terjadi Kekerasan"

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com