JAKARTA, KOMPAS.com - Demam akan konser band Coldplay yang digelar pada 15 November 2023 mendatang tengah melanda banyak masyarakat di Tanah Air.
Sejumlah orang bahkan rela melakukan berbagai cara demi mendapatkan uang untuk membeli tiket konser band asal Inggris itu, mulai dari menjual perabotan, kendaraan, bahkan melakukan pinjaman online, kemudian melakukan perburuan tiket.
Terkait hal tersebut, Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengungkapkan berbagai faktor yang membuat seseorang rela melakukan hal apa pun demi mendapatkan tiket konser Coldplay.
"Pertama kita perlu sadar bahwa di era digital ini ada berbagai tipologi karakter sosial masyarakat, yang disebut salah satunya adalah experience economy dan attention economy, ungkap Devie ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (17/5/2023).
Baca juga: Kisah Danar Jual Kulkas dan Motor demi Tiket Coldplay Seharga Rp 11 Juta
"Apa maksudnya? Jadi generasi digital yang dimulai dengan generasi Y, Z, bahkan yang sekarang Alfa itu adalah generasi yang lebih mengedepankan pengalaman daripada kepemilikan. Makanya berbagai pengalaman itu akan dikejar oleh mereka," sambungnya.
Menurut Devie, pengalaman menjadi hal penting karena faktor digital merupakan etalase atau sesuatu untuk memamerkan diri seseorang.
Pada era yang disebut attention economy, Devie menyebut semua orang berusaha mendapatkan perhatian atau terlihat eksis.
Jika hanya dengan kepemilikan, kata Devie, itu tidak akan mampu membuat seseorang menjadi autentik dan mendapatkan perhatian sebagai upaya untuk mencapai eksistensi.
Baca juga: War Tiket Konser Coldplay di Warnet Gaming Jakbar, Pengelola: Hari Ini Full Sewa
"Tapi dengan pengalaman sesuatu yang tidak bisa didapatkan dengan orang lain, kemudian dia akan tampilkan, itu menjadi sesuatu. Mata uang yang sangat penting di era attention economy ini," lanjutnya.
Devie menyampaikan bahwa seseorang harus mampu menunjukkan sesuatu yang autentik atau langka agar mendapatkan perhatian.
"Konser ini menjadi sesuatu experience (pengalaman) yang sangat langka, kapan lagi Coldplay ke sini? Ini didorong dengan virus FOMO (rasa takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu) yang memang menjangkiti masyarakat digital," ujarnya.
Lebih lanjut, Devie menyebut bahwa musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari anak-anak muda, apalagi manusia digital.
Sebab, makhluk-makhluk digital, katanya, adalah makhluk-makhluk yang paling stres. Karena itu, salah satu rekreasi untuk menghilangkan stres adalah lewat musik.
"Jadi, faktor kenapa kemudian perang tiket ini terjadi merupakan bersatunya berbagai faktor tadi, faktor ecperience economy, attention economy, fomo, lalu katarsis untuk melepaskan stres," jelasnya.
"Orang rela melakukan apa pun karena attention economy yang magnetnya begitu luar biasa, ditambah fasilitas untuk bisa melakukan pinjaman yang dipermudah sekali, baik yang legal maupun ilegal. Nah ini yang kemudian mempertemukan berbagai fenomena tadi dengan kondisi kebutuhan hari ini," pungkasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.