JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk beberapa hari terakhir ini. Data dari IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta tak pernah kurang dari 150 sejak Jumat (19/5/2023).
IQAir mencatat, indeks kualitas udara tertinggi mencapai 159 pada Senin (22/5/2023). Angka itu menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat. Masa libur nasional dan cuti bersama tak ikut menurunkan indeks tersebut.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Bisa Picu Infeksi Pernapasan dan Kanker
Indeks kualitas udara mulai membaik pada Sabtu-Minggu (3-4/6/2023) dengan capaian 147 dan 146. Itu pun masih dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Pada Minggu (4/6/2023), cemaran konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 di Jakarta juga tercatat 44,7 mikrogram per meter kubik (μgram/m3). Angka ini 8,9 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Buruknya kondisi udara di Jakarta sudah diwanti-wanti sejak lama karena membawa dampak buruk bagi kesehatan, terutama pada saluran pernapasan bila seseorang terpapar polutan terus-menerus.
"Sebagian besar yang dirasakan itu dampak langsung yang sifatnya akut dan jangka pendek, seperti keluhan hidung berair, sakit tenggorokan, kemudian batuk-batuk, tenggorokan terasa gatal," ucap dokter spesialis paru, Agus Dwi Susanto, Jumat (2/6/2023).
Baca juga: Anies: Solusi Polusi Udara Bukan Subsidi Mobil Listrik
Polutan yang terhirup terus menerus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan baik itu dari mukosa saluran napas atas, saluran napas tengah, sampai saluran napas bawah.
Namun, pada kalangan tertentu yang juga memiliki penyakit lain, dampaknya bisa lebih berat, salah satunya eksaserbasi atau perburukan gejala pernapasan yang akut.
Berdasarkan data WHO, risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia adalah kualitas udara yang memburuk karena telah menyebabkan kematian sekitar 7 juta jiwa tiap tahun.
Di Jakarta, 9 dari 10 warga Ibu Kota menghirup udara buruk. Situasi ini berdampak pada kesehatan warga dan turunnya produktivitas ekonomi.
Baca juga: Polusi Udara Sumbang 15-30 Persen Penyakit Respirasi, Bebankan BPJS hingga Triliunan Rupiah
Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari mengatakan, negara berkembang sering kali menghadapi kendala besar saat memperkuat data profil polusi udara.
Menurut dia, mahalnya biaya pengadaan dan pemeliharaan stasiun pemantauan di sekelilingnya kerap jadi kendala. Puji berujar, pemerintah bisa menginventarisasi emisi sebagai sebuah pendekatan.
"Pendekatan ini dapat menjadi opsi yang terjangkau secara pendanaan dan lebih sesuai bagi negara berkembang untuk mengembangkan pendekatan ilmiah dalam menghasilkan profil polusi udara yang padu," kata Puji, dikutip dari Kompas.id, Rabu (31/5/2023).
Direktur Kualitas Udara WRI Global Beatriz Cardenas menilai perlu adanya peningkatan kesadaran publik akan sumber polutan udara sebagai permulaan yang baik dalam upaya pengelolaan kualitas udara.
Baca juga: Ikhtiar untuk Memperbaiki Kualitas Udara Jakarta
Menurut dia, hal itu bisa ditingkatkan dengan gerakan sadar kualitas udara, pemantauan, dan modeling yang meningkatkan kapasitas semua pihak terkait
"Polusi udara harus dipetakan dengan berbagai sumber, jenis, baru kemudian solusinya. Hal ini dapat dilakukan apabila masing-masing negara dengan kemampuannya, baik itu pemerintah, akademisi, maupun organisasi masyarakat sipil," kata Beatriz.
Ketua Kelompok Lingkungan Hidup dan Ruang Terbuka Hijau, Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Silvana Tarigana menambahkan, Pemprov DKI berkomitmen mencari solusi dalam menjawab tantangan kualitas udara.
"Targetnya, menurunkan kadar emisi karbon sebesar 30 persen tahun ini, dan sebesar 50 persen di 2030, sampai mencapai nol emisi di tahun 2050," ucap Silvana.
Baca juga: Dokter Imbau Masyarakat Pakai Masker di Tengah Buruknya Kualitas Udara Jakarta
Untuk mencapai target ini, Pemprov mulai meremajakan fasilitas transportasi publik, menyelenggarakan uji emisi kendaraan bermotor roda dua dan roda empat, meningkatkan cakupan kawasan berorientasi transit (TOD).
Selain itu, Pemprov DKI juga mendorong partisipasi komunitas dan publik, termasuk meningkatkan kerja sama untuk mencari solusi inovatif dan terjangkau lewat kemitraan.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta meluncurkan tiga alat pemantau kualitas udara untuk mengukur dan menjawab permasalahan polusi udara di Jakarta yang memburuk.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto berujar, alat itu bisa memberikan data yang lebih akurat terkait sumber polusi udara lokal.
"Peralatan pemantau kualitas udara merupakan alat penting yang dibutuhkan untuk mengukur dan menjawab permasalahan polusi udara di Jakarta," ujar Asep, dilansir dari Antara, Minggu (4/6/2023).
Baca juga: Baru 4,5 Persen Kendaraan yang Uji Emisi, Kualitas Udara di Jakarta Belum Berubah Signifikan
Alat itu, kata Asep, juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas udara, mengatasi perubahan iklim, dan melindungi kesehatan penduduk kota.
Asep berujar, pengadaan alat tersebut merupakan hasil dari kemitraan strategis antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia di bawah program Clean Air Catalyst (CAC).
Program itu itu merupakan kemitraan global yang didukung oleh US Agency for International Development (USAID) dan konsorsium yang terdiri dari WRI Indonesia dan Vital Strategies di Jakarta.
Asep menjelaskan, tiga peralatan pemantau kualitas udara baru ini akan dipasang secara bertahap di area-area yang belum memiliki cakupan pemantauan kualitas udara yang memadai.
Baca juga: Billboard Serial Black Knight Tuai Apresiasi Warganet, Tampilkan Indikator Kualitas Udara Jakarta
Lokasinya di Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Kantor Wali Kota Jakarta Timur dan area pelabuhan yang mencakup gedung IPC Pelindo di Jakarta Utara.
Sedangkan empat Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) di wilayah DKI Jakarta yang sudah ada di daerah pemukiman di Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan akan ditingkatkan kualitasnya.
"Selain itu, instrumen meteorologi terkini juga akan digunakan untuk mengukur kondisi cuaca dan angin yang memiliki dampak signifikan terhadap kualitas udara kota," kata Asep.
(Penulis : Wasti Samaria Simangunsong, Stephanus Aranditio (Kompas.id), Siti Nurhaliza (Antara) | Editor : Irfan Maullana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.