Itulah sebabnya dia memutuskan untuk datang ke Balai Kota DKI Jakarta untuk meminta solusi dari Pemerintah Provinsi.
“Istilahnya, dicarikan solusi (untuk) kami (tetap) bisa berdagang. Kalau akan dibina, ya saya siap dibina. Tetapi kan, jangan seperti kayak maling diusir sana sini,” tutur dia.
Menurutnya, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pemberlakuan jadwal untuk berjualan.
“Paling tidak tiga sampai lima jam. Selebihnya beliau (petugas) mau mengeseer atau patroli dulu ya silakan saja. Kami siap dibina. Untuk aturan harus steril, ya kami sterilkan, tapi jangan setiap saat ada pengusiran,” imbuh Lukman.
Lukman berharap, Pemprov dapat memberikan solusi untuk permasalahan ini. Baik itu memberi binaan, atau memberikan lahan bagi pedagang untuk berjualan.
“Saya minta kebijakan dan kebijaksanaan untuk dibina (dari Gubernur),” tutup dia.
Di sisi lain, sejumlah warga menyayangkan larangan PKL untuk berdagang di trotoar Jalan Diponegoro depan UKI dan RSCM.
Sebab, mereka merasa terbantu dengan berbagai pilihan kuliner yang ada di kawasan itu.
Salah satunya adalah mahasiswa bernama Rizki (28). Gadis itu mengaku kasihan dengan para pedagang yang kerap diusir.
“Butuh juga sih (kehadiran PKL) sebenarnya. Kalau di rumah sakit kan mahal ya, kalau di sini lebih murah,” tutur Rizky saat berbincang dengan Kompas.com.
Menurut Rizki, kondisi ini membuatnya serba salah. Namun, dia menyarankan agar pedagang diberikan fasilitas untuk berdagang.
“Kalau (pemerintah) mau tegas sama mereka dengan menegakkan peraturan, coba berikan fasilitas area untuk berjualan,” kata dia.
Seorang pasien RSCM bernama Rahma (28) juga merasa terbantu dengan adanya berbagai pilihan makanan di trotoar seberang rumah sakit.
Sebab, dia harus mengantre ke dokter sejak pagi dan belum sempat sarapan.
“Aku berangkat jam 07.00 WIB, baru dipanggil jam 12.00 WIB, pasti kan aku laper. Menurutku PKL-PKL ini membantu,” kata Rahma.