JAKARTA, KOMPAS.com - Tanah Abang di Jakarta Pusat dikenal sebagai salah satu pusat grosir terbesar di Asia Tenggara.
Sebelum tumbuh menjadi raksasa bisnis di jantung Ibu Kota, pasar ini telah melewati beragam dinamika. Berikut sejarah pembentukan Pasar Tanah Abang dan jatuh-bangunnya:
Dilansir dari Historia.id, Pasar Tanah Abang bermula dari permintaan pejabat VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) bernama Justinus Vinck untuk mendirikan pasar di lahan miliknya pada 1733.
Vinck menilai perlu ada pasar yang didirikan di daerah yang mulai dipadati penduduk di sekitar kebun kacang, kebun jahe, kebun pala, kebun sirih, dan kebun melati di sana.
Baca juga: Kegetiran Pedagang di Pasar Tanah Abang: Sepi Pembeli dan Sulit Bersaing dengan Pedagang Online
Dia kemudian memperoleh izin untuk membangun pasar oleh Gubernur Jenderal Abraham Patras pada 1735.
Ada dua jenis pasar nantinya, yakni Pasar Weltevreden untuk menjual sayur-mayur pada hari Senin dan pasar tekstil di hari Sabtu. Pasar tekstil ini dibangun di Bukit Tanah Abang.
Tak lama usai didirikan, pasar tekstil Tanah Abang diserang Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff pada 9 Oktober 1740.
Serangan itu merupakan jawaban atas perilaku agresif orang-orang Tionghoa di Tanah Abang terhadap pos jaga VOC sehari sebelumnya.
Pasukan VOC menggunakan meriam untuk menghadapi orang-orang Tionghoa di Tanah Abang. Tembakan meriam merusak sejumlah bangunan pasar.
Meski begitu, pasar itu kembali menggeliat dan makin semarak memasuki tahun 1800-an. Hari buka pasar bertambah menjadi Rabu dan Sabtu.
Baca juga: Senja Kala Pasar Tanah Abang, Dihadapkan Pilihan Bertahan atau Gulung Tikar...
Bangunan pasar kian lama kian rapuh. Perbaikan fisik berlangsung secara kecil-kecilan pada 1913 dan kemudian dilanjutkan dengan perombakan secara besar-besaran pada 1926.
Bangunan lama berganti bangunan baru yang permanen dan lebih nyaman untuk menampung aktivitas jual beli. Akan tetapi, pasar ini dipenuhi gelandangan saat Jepang datang di tahun 1940-an.
Pasar Tanah Abang mulai tumbuh menjadi fasilitas serba lengkap seperti yang kita lihat saat ini sejak pengelolaannya diambil alih Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya. Pasar Tanah Abang dibangun bertingkat pada 1973.
Memasuki 1990-an, perputaran uang di pasar ini mencapai Rp 10 miliar per hari. Para preman berebut kendali atas Pasar Tanah Abang dan terjadi bentrokan hingga memuncak pada 1996.
Korban jiwa berjatuhan sehingga pedagang dan pembeli menghindari kawasan berbahaya ini. Kerusuhan 1998 pun sempat membuat nadi Pasar Tanah Abang berhenti, tetapi kemudian berdetak kembali.
Kebakaran demi kebakaran pun silih berganti terjadi di Pasar Tanah Abang. Akan tetapi, geliatnya terasa kembali tak lama usai insiden ditangani.
Baca juga: Tak Jualan di Medsos, Pedagang Pasar Tanah Abang: Saingannya Berat, Live Berjam-jam Takut Sia-sia
Namun, geliat tanah abang tampak semakin redup beberapa tahun belakangan di tengah gempuran perkembangan teknologi yang memungkinkan masyarakat untuk berbelanja secara daring.
Harga yang ditawarkan pedagang tekstil daring pun bisa dikatakan bersaing dan relatif lebih murah ketimbang harga di pasar.
Ini berdampak juga terhadap pedagang di Pasar Tanah Abang. Salah satu pedagang pakaian di sana, Galih Budi (23), mengaku banyak pedagang yang gulung tikar.
Penjualan kian merosot saat pandemi Covid-19 melanda sejak 2020.
“Dulu penjualan stabil. Sekarang mah bisa satu hari cuma satu pembeli, bisa juga enggak ada sama sekali,” ujar Galih saat ditemui di kiosnya, Rabu (13/9/2023).
Pedagang bernama Edi (40) mengaku kesulitan jika harus bersaing dengan pedagang online yang terkenal banting harga.
Baca juga: Cerita Pedagang Pasar Tanah Abang Dulu Raup Rp 3 Juta per Hari, Kini Sepi dan Banyak Toko Bangkrut
Sementara itu, pakaian yang dijual Edi merupakan pakaian premium atau pakaian impor yang harganya bisa dua kali lipat lebih mahal dibanding pakaian yang dijual secara daring.
"Kalau di online itu kan barang-barang low-end, barang-barang murah. Kalau kami di sini barang impor. Barang impor atau barang premium,” bebernya.
"Kami enggak berani masuk online karena modal barangnya saja, kami sudah tinggi," imbuh dia.
Melihat kondisi demikian, kali ini tidak dapat dipastikan apakah Pasar Tanah Abang bisa bersaing dengan kemajuan zaman.
Kenyataannya, kios kian hari semakin banyak yang tutup. Pembeli pun beralih ke media yang lebih memudahkan dan menguntungkan mereka untuk berbelanja.
(Historia.id: Hendaru Tri Hanggoro/ Kompas.com: Joy Andre)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.