Kasus di Bekasi, misalnya, jika melihat luka-luka MSD yang cukup parah atau bentuk kekerasan yang menunjukan ancaman jiwa nyata, seharusnya ada langkah cepat kepolisian. Bukan dengan membiarkan korban pulang setelah membuat laporan.
Petugas SPKT harus memastikan tujuan pulangnya korban merupakan tempat yang aman, misal ke rumah kerabat korban atau jika perlu ke rumah aman milik Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak maupun rumah aman lain.
Membiarkan korban pulang dan kembali satu atap dengan terduga pelaku sama saja membuka potensi korban mengalami kekerasan yang sama.
Kasus di Jagakarsa lebih memilukan karena anak korban yang tinggal bersama terduga pelaku menjadi korban tewas.
Mungkin jika Sabtu lalu, kepolisian dan dinas terkait mengevakuasi empat anak tersebut, misal ke rumah aman milik pemerintah, atau ke rumah keluarga si ibu, bisa jadi peristiwa memilukan ini bisa dihindari.
Terkait perdamaian, ada baiknya kepolisian melihat bentuk kekerasan yang pernah dilakukan oleh terduga pelaku. Apabila kekerasannya sudah menjurus ke mengancam jiwa, maka sebaiknya perdamaian dikesampingkan.
Apabila merujuk Jason Whiting dalam Psychology Today (dikutip dari "Kenapa Korban KDRT Sulit Meninggalkan Pelaku Menurut Psikolog", tirto.id), pelaku KDRT cenderung manipulatif dengan cara meminta maaf dan mengaku menyesali perbuatan.
Maka sebelum memutuskan laporan KDRT diselesaikan melalui perdamaian, penyidik harus memastikan bentuk kekerasan dan meminta pendapat ahli psikologi maupun budaya, apakah KDRT tersebut bisa diselesaikan dengan cara damai, apalagi dengan menyatukan kembali pelaku dengan korban.
Apabila ada kemungkinan terjadinya kembali KDRT, apalagi dengan potensi bentuk kekerasan yang berdampak parah, maka jalan damai sebaiknya dikesampingkan.
Jikapun kasus KDRT berakhir damai, penyidik harus memastikan pelaku dan korban mengikuti program konseling atau perawatan psikologis yang hasilnya dilaporkan ke penyidik.
Adanya intervensi dari konseling dan psikologis diharapkan bisa mengubah cara pikir pelaku terkait kekerasan. Sehingga peluang mengulangi KDRT bisa dikurangi.
Berlanjutnya perkara KDRT ke dalam sistem peradilan pidana, tentunya harus memperhatikan juga kebutuhan psikososial korban. Apalagi banyak korban KDRT yang bergantung secara ekonomi kepada pelaku (salah satu alasan banyaknya laporan KDRT yang dicabut).
Lembaga pemerintah maupun swasta perlu berperan. Misalnya, terkait kebutuhan sehari-hari korban yang sebenarnya bisa dibantu melalui mekanisme bantuan sosial.
Atau peran Dinas Pendidikan untuk memastikan anak-anak korban KDRT untuk tetap bisa bersekolah meskipun tulang punggung keluarganya tidak ada.
Serta bentuk-bentuk bantuan lain yang bisa membantu korban dan anak-anak korban menjalani peran sosialnya secara wajar.