"SATU keluarga bunuh diri." Narasi itu merebak di mana-mana, pascatewasnya empat orang akibat terjun dari atap apartemen di Jakarta. Ungkapan senada juga meluncur dari pihak kepolisian setempat.
Kejadian dimaksud memang memilukan dan sangat mengerikan. Namun terhadap 'satu keluarga bunuh diri', perlu dikoreksi terhadap bingkai kalimat itu.
Butuh perubahan cara berpikir saat memperbincangkan kasus-kasus serupa.
Empat individu yang melompat dari atap apartemen itu dapat dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama) hanya apabila bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensus) untuk melakukan perbuatan fatal sedemikian rupa.
Namun satu fakta yang tidak bisa dikesampingkan adalah pada kejadian horor yang sekaligus menyedihkan itu terdapat dua orang anak-anak.
Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa semacam itu serta-merta gugur dengan sendirinya.
Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai individu yang sama sekali tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.
Analog dengan aktivitas seksual. Dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak menginginkan dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
Anak-anak pun, terlepas mau atau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, setuju atau tidak setuju, selama-lamanya absolut harus dianggap tidak mau dan tidak setuju akan aktivitas seksual yang menyertakan mereka itu.
Sehingga, apa pun dalihnya, individu yang melangsungkan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Pada anak-anak pun, apa pun suasana batinnya, secara otomatis tersemat status korban.
Kembali ke peristiwa terjun bebas di Jakarta Utara.
Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, sepakat atau tidak sepakat, tetap--sekali lagi--mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak sepakat.
Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensus.
Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem tersebut.
Atas dasar itu, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak yang ikut terjun bebas itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.
Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang--harus diasumsikan--telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa.
Memang, walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas. Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.
Kendati demikian, dalam basis data kepolisian, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa mengenaskan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana.
Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi.
Aksi kedua orangtua sedemikian rupa, dalam rumusan pasal 345 KUHP, tampaknya disepadankan dengan 'sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana'.
Sedangkan pada pasal 462 KUHP (2022), pembunuhan dimaksud berupa 'mendorong, membantu, atau memberi sarana'.
Namun penerapan kedua pasal itu, menurut saya, tidak begitu tepat. Alasannya, pasal 345 KUHP dan pasal 462 KUHP (2022) secara implisit memosisikan pihak yang didorong, dibantu, dan difasilitasi untuk menghabisi nyawanya sendiri itu adalah orang dewasa.
Karena pihak itu adalah orang dewasa, maka unsur kehendak dirinya untuk mengakhiri hidup diakui keberadaannya. Antara pihak yang mendorong dan pihak yang didorong, unsur kehendak mereka sejajar atau bersesuaian satu sama lain.
Kontras, sebagaimana tertulis pada alinea-alinea terdahulu, unsur kehendak (dan kesepakatan) serta-merta gugur ketika individu dimaksud masih berusia anak-anak.
Satu pihak (orangtua) berkehendak bagi terjadinya kematian anak-anak, sedangkan anak-anak tidak berkehendak (dan tidak bersepakat) bagi terjadinya hal tersebut.
Atas dasar itu, pasal 340 KUHP saya pandang sebagai pasal yang tepat untuk membingkai kematian yang terjadi dalam situasi pertentangan kehendak antara orangtua dan anak tersebut.
Manakala suami istri melakukan aksi menghabisi diri mereka sendiri, tidak tersedia pembenaran apa pun bagi perbuatan yang salah itu. Kesalahan semakin besar ketika suami istri itu mengikutsertakan anak-anak mereka dalam tindakan fatal.
Pada titik itu, saya menilai kasus tewasnya satu keluarga akibat bunuh diri dan pembunuhan tidak cukup lagi ditinjau sebagai masalah individu per individu yang ditangani lewat pendekatan klinis.
Dengan kata lain, penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut tidak memadai jika lagi-lagi hanya menghasilkan rekomendasi terapi.
Peristiwa bunuh diri dan pembunuhan serupa sudah saatnya memanggil paksa pemerintah untuk hadir.
Anggaplah ayah bunda diterpa masalah yang amat pelik. Saking peliknya, sampai-sampai kedua orangtua sudah memikirkan langkah tragis sebagai "jalan keluar".
Namun apabila orangtua teryakinkan bahwa negara niscaya dan selalu hadir memberikan jaminan pengamanan sosial bagi anak-anak, maka patut kita berharap bahwa pemikiran salah ayah bunda tidak akan merembet ke anak-anak.
Berkat andalnya jaminan pengaman sosial, orangtua–dengan kata lain–akan membendung problem dan "solusi" pada diri mereka saja.
Sementara anak-anak, di tengah kegetiran hidup akibat ditinggal orangtua, beralih pemenuhan atas hak hidup dan hak berkembang mereka ke negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.