Baik Omnibus Law maupun Tapera, sama-sama menuai kritik dan penolakan dari masyarakat.
Pasalnya, aturan-aturan yang ada dinilai memberikan kerugian jangka panjang bagi rakyat, terutama kaum pekerja.
Dalam kasus Tapera, masyarakat mengeluhkan bertambahnya total potongan terhadap gaji mereka yang tidak seberapa.
Sebelum ada potongan 2,5-3 persen untuk Tapera, gaji karyawan dan buruh sudah lebih dahulu disisihkan untuk sejumlah hal, antara lain:
Baca juga: Tolak Program Tapera, Partai Buruh: Pemerintah Memang Niatnya Enggak Mau Kasih Rumah
Selain besaran iuran, masyarakat juga mengeluhkan periode menambung yang sangat panjang. Padahal, masih belum jelas realisasi rumah atau proses pencairan dana yang dicanangkan.
Sementara itu, dengan skema iuran Tapera saat ini, tabungan yang dikumpulkan tidak akan cukup bagi masyarakat untuk membeli rumah.
Dengan rata-rata gaji buruh yang tiap bulannya hanya Rp 3,5 juta. Iuran Tapera yang perlu dikumpulkan setiap bulan kurang lebih Rp105.000. Artinya, setiap tahun terkumpul Rp1.260.000,00.
Angka ini dinilai terlalu kecil untuk bisa mendapatkan rumah yang layak. Bahkan, untuk membayar uang muka saja tidak cukup.
Dalam UU Cipta Kerja, terdapat juga sejumlah peraturan yang dinilai merugikan masyarakat dan karyawan untuk jangka panjang.
Salah satunya, pasal 59 yang menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Hal ini menyebabkan, perusahaan dapat menahan status pekerja pada tahap pegawai kontrak untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pasal ini dikeluhkan karena memungkinkan hilangnya sejumlah hak pegawai akibat tidak adanya status karyawan tetap.
Tapera bukan peraturan pertama yang digugat kaum buruh.
UU Cipta Kerja sudah lebih dahulu bolak-balik MK-DPR karena dikebut pengerjaannya.
Istilah inkonstitusional bersyarat pun menyebar luas usai majelis hakim MK mengetok palunya pada 25 November 2021.