JAKARTA, KOMPAS.com - Geliat pasar malam di Jakarta mulai jarang terasa. Hiburan rakyat tersebut mulai tergerus zaman.
Kini, banyak anak berselancar dengan gawainya atau bermain game online. Mendekam di pojok kamar lalu berbicara dengan teman virtual menjadi “jalan ninja” mereka.
Namun, nyatanya eksistensi pasar malam tetap dipertahankan oleh mereka yang mengais rupiah di tanah rantau.
Baca juga: Lika-liku Bisnis Pasar Malam: Kalah Saing dengan Game Online, Hidup Nomaden agar Tak Bikin Bosan
Sejak berusia 16 tahun, Khairul alias Dadung (31) memilih garis kehidupan sebagai joki tong setan.
Alasannya sederhana, dia mengaku penasaran dengan "roda-roda gila" yang bisa melaju dalam tong berbentuk kerucut tersebut.
Alhasil, pria asal Demak, Jawa Tengah, itu selalu menyempatkan waktu sebelum pasar malam dibuka demi belajar menjadi joki hingga berbagai macam atraksi dia kuasai.
Tapi, jalan Dadung tidak semulus yang diharapkan. Rasa pusing, mual, dan telinga yang sakit akibat knalpot bising menjadi jalan terjal yang dilalui sebelum menguasai tong setan.
Sejak pertama kali memutuskan menjadi joki tong setan, Dadung sudah sadar, pekerjaannya ini mempunyai risiko besar, terjatuh, luka-luka, patah tulang, bahkan meninggal dunia.
Kini, entah sudah berapa kali Dadung terjatuh saat beraksi menghibur penonton.
Baca juga: Ini Kisah Dadung, Joki Tong Setan yang Disawer Rp 9 Juta Semalam
“Saya pernah jatuh. Saya jatuh duluan, terus motornya belakangan, mesin motornya timpa tangan saya. Jadi, tangan saya terkena mesin motor, akhirnya kayak luka bakar. Itu yang parah. Gara-garanya ban motor bocor,” ungkap Dadung.
Bekas luka bakar di tangan sebelah kanan Dadung menjadi saksi bisu bagaimana kerasnya ayah satu anak itu mengais rezeki dari bisnis pasar malam.
Beruntung, Dadung tidak pernah sampai patah tulang. Dia sudah menganggap itu merupakan musibah yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta. Kata Dadung, yang paling penting adalah rezekinya halal.
Hanya saja, istri Dadung selalu memintanya mencari pekerjaan lain. Dadung mengerti, pendamping hidupnya itu sangat khawatir dengan keselamatannya.
Mengingat usianya yang masih muda, dia berencana untuk membuka usaha meski harus mempertaruhkan nyawanya.
“Ya intinya mau cari modal dulu, nanti setelah ada modal, baru, ada tujuan lagi,” ucap dia.
Ipung (23) bekerja di pasar malam sejak 2018. Saat itu dia sedang menganggur dan memutuskan bertolak dari Arjawinangun, Cirebon, menuju Pedurenan, Bekasi.
Sementara Joni (21), baru bekerja di pasar malam sejak 2021. Pria asal Jawa Timur itu memutuskan berhenti dari pekerjaannya di Kalimantan menuju Tambun, Bekasi untuk bekerja di pasar malam.
Sebagai pengayun ombak banyu, mereka harus jumpalitan demi menghibur penonton. Tentunya, dengan harapan mendapatkan saweran.
Meski napas terengah-engah, mereka tetap melanjutkan atraksinya dengan memasuki sela-sela besi ombak banyu yang lebarnya hanya kurang dari satu meter.
Baca juga: Cerita Pengayun Ombak Banyu Pasar Malam: Rela Tangan Kapalan demi Pengunjung Terhibur
Walau badan tak berotot, mereka tetap semangat mengayun wahana dengan jumlah pengunjung lebih dari 30 orang itu.
Tujuannya sederhana, Joni dan Ipung ingin pengunjung merasa sedang mengarungi ombak besar di tengah laut.
Mereka menganggap besi adalah teman. Hampir setiap hari tangan mereka kontak langsung dengan besi. Mereka tak peduli meski beberapa bagian besi sudah berkarat.
Hasilnya, telapak tangan Joni dan Ipung kapalan, kulit terkelupas, dan terlihat bagian dalamnya.
Saat Kompas.com sentuh, kapalan pada telapak tangan Joni dan Ipung terasa mengeras. Warnanya juga tampak menghitam.
“Kalau dirasa-rasa, ya perih, tapi karena aktivitas, ya sudah. Ini juga memang sengaja enggak pakai plester. Nanti malah lembek kayak tomat busuk,” ucap Joni.
Sepasang suami dan istri duduk berdekatan. Mereka mengimpit anak yang masih berusia lima tahun saat duduk di wahana ombak banyu.
Tangan anak memegang erat baju ibunya. Sedangkan tangan kiri ayah merangkul dada buah hati agar tidak terjatuh.
Anak itu tertawa terpingkal-pingkal meski ibundanya harap-harap cemas seiring ombak banyu diayunkan Joni dan Ipung. Ayahnya justru tertawa melihat reaksi ibu.
Setelahnya, mereka mengabadikan momen tepat di depan pintu masuk wahana ombak banyu. Ayah mencium pipi kanan anak dan ibu mencium pipi kiri anak.
Baca juga: Renungan Pengayun Ombak Banyu di Balik Keceriaan Keluarga Pengunjung Pasar Malam
Sambil menunggu antrean wahana yang mengular, mereka membeli kudapan yang tersedia di pasar malam. Sang anak tinggal tunjuk, dan ayah langsung mengeluarkan uang.
Melihat potret "keluarga cemara" di pasar malam ternyata membuat Joni dan Ipung turut senang.
Namun, Joni terkadang tidak bisa menyembunyikan rasa sedih sebelum dia terlelap dari tidurnya. Dia pun merenung sekali waktu.
“Cuma, ya kalau buat kita pribadi, ya... gimana ya.. ‘Kok masa kecil saya enggak begitu’. Kita malah iba sama diri kita sendiri. 'Kok kecil saya enggak begitu ya?', gitu,” ucap Joni.
Perasaan itu mereka nilai sangat wajar, mengingat para pekerja di pasar malam tumbuh besar dengan ekonomi berkecukupan.
Tangis dan rindu akan keluarga yang berada di kampung halaman terpaksa mereka tahan demi mengais sesuap nasi di tanah rantau.
Oleh karena itu, setiap Hari Raya Lebaran, mereka memilih untuk tidak pulang ke kampung halaman. Sebab, momen tersebut justru banyak keluarga yang mengunjungi pasar malam.
“Yang seharusnya kita di rumah bareng sama keluarga, cuma kita memanfaatkan momen itu benar-benar kita cari duit. Ya dalam hati mah nangis, pengin kumpul,” kata Ipung.
“Sebenarnya mah kita pengin kayak yang lain, kumpul keluarga, pengin. Cuma kita memanfaatkan momen itu untuk mendapatkan rupiah,” sahut Joni.
Meski begitu, di sela-sela pekerjaan, keduanya tetap melepas rindu dengan keluarga masing-masing melalui panggilan video.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.