Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Ditata, PKL Juga Bisa Mempercantik Jakarta

Kompas.com - 06/08/2013, 09:01 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Semangat dan upaya keras Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menertibkan pedagang kaki lima yang mengokupasi trotoar dan badan jalan merupakan kebijakan yang telah lama ditunggu. Namun, kebijakan tersebut jangan sampai berlebihan dan justru bisa membuat Jakarta kehilangan salah satu ciri khasnya.

"PKL itu memang pedagang yang di luar sistem pasar. Ia tidak berada di kios atau di dalam pasar, tetapi di lokasi yang dekat dengan pengguna jalan atau ruang publik. PKL jika ditata dan diberdayakan bisa membuat kota menjadi lebih manusiawi dan cantik," kata arsitek lanskap, Nirwono Joga, Senin (5/8/2013).

Nirwono mengatakan, di kota-kota lain di luar negeri, PKL selalu mendapat tempat. Dari apa yang ia pelajari, menata dan memberdayakan PKL membutuhkan tiga hal, yaitu kepastian tempat berdagang, jaminan perlindungan dari pemerintah setempat, dan tempat yang disediakan tidak mengganggu kepentingan publik.

Agar ketiga hal itu terpenuhi, lanjut Nirwono, PKL perlu didata. Tenda-tenda PKL jika memungkinkan diseragamkan dan dilengkapi dengan nomor registrasi. Dengan data yang akurat, pemerintah bisa mengontrol jumlah PKL dan menindak pedagang yang nakal, misalnya berdagang di luar tempat yang ditentukan.

Nirwono juga melihat, saat ini upaya pemerintah hanya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Ketertiban Umum. Perda tersebut berisi larangan PKL berdagang mengokupasi jalan, tetapi belum disebutkan tentang perlunya penataan dan pemberdayaan.

"Ini menjadi PR pemerintah untuk mewujudkan satu perda lagi terkait pemberdayaan PKL," ucapnya.

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menambahkan, masalah penataan PKL seharusnya menjadi kesepakatan antara pemerintah dan PKL. Adu otot hingga pelanggaran terang-terangan, seperti yang terjadi di Tanah Abang (Jakarta Pusat) dan Pasar Minggu (Jakarta Selatan), seharusnya tidak perlu terjadi.

Siapa pun yang mengganggu fungsi jalan dan jalur pedestrian bisa dikenai sanksi hukum, termasuk PKL. Pelaku yang mengganggu fungsi jalan, seperti diatur dalam Pasal 63 UU 38/2004 tentang Jalan, dihukum maksimal 18 bulan penjara atau denda maksimal Rp 1,5 miliar.

Kalau mengganggu jalur pejalan kaki, sesuai Pasal 275 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelaku bisa dihukum maksimal satu bulan penjara atau denda Rp 250.000.

"Jadi, langkah Asosiasi PKL Indonesia yang mau membawa 100 pengacara untuk menyomasi Wakil Gubernur DKI Jakarta harus dipikir ulang," katanya.

Menurut Djoko, PKL juga harus memahami bahwa selama ini mereka telah melanggar dua UU. Karena telah mengganggu hak pejalan kaki, PKL pasti sudah melanggar hak asasi manusia yang tentu saja proses hukumnya berbeda lagi.

Ketua Asosiasi PKL Indonesia DKI Jakarta Hoiza Siregar menyatakan, ia dan para anggotanya selalu bersedia diajak berdialog. "Kami mau ditata asal tidak digusur. Ini mata pencarian kami," katanya.

Menurut Hoiza, saat ini ada 300.000 PKL yang tersebar di seluruh Jakarta. Namun, lanjut Nirwono, data ini harus dicek lagi keakuratannya disertai detail peta persebaran PKL. Dengan data yang detail, PKL bisa mengusulkan bentuk penataan dan pemberdayaan yang dibutuhkan kepada Pemprov DKI Jakarta. (NEL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ungkap Peredaran Sabu di Tebet, Polisi Selidiki Kemungkinan Asal Narkoba dari Kampung Bahari

Ungkap Peredaran Sabu di Tebet, Polisi Selidiki Kemungkinan Asal Narkoba dari Kampung Bahari

Megapolitan
Heru Budi Pastikan Pasien TBC yang Bukan KTP DKI Bisa Berobat di Jakarta

Heru Budi Pastikan Pasien TBC yang Bukan KTP DKI Bisa Berobat di Jakarta

Megapolitan
Warga Bekasi Tertabrak Kereta di Pelintasan Bungur Kemayoran

Warga Bekasi Tertabrak Kereta di Pelintasan Bungur Kemayoran

Megapolitan
Faktor Ekonomi Jadi Alasan Pria 50 Tahun di Jaksel Nekat Edarkan Narkoba

Faktor Ekonomi Jadi Alasan Pria 50 Tahun di Jaksel Nekat Edarkan Narkoba

Megapolitan
Keluarga Taruna yang Tewas Dianiaya Senior Minta STIP Ditutup

Keluarga Taruna yang Tewas Dianiaya Senior Minta STIP Ditutup

Megapolitan
UU DKJ Amanatkan 5 Persen APBD untuk Kelurahan, Heru Budi Singgung Penanganan TBC

UU DKJ Amanatkan 5 Persen APBD untuk Kelurahan, Heru Budi Singgung Penanganan TBC

Megapolitan
Pria 50 Tahun Diiming-imingi Rp 1,8 Juta untuk Edarkan Narkoba di Jaksel

Pria 50 Tahun Diiming-imingi Rp 1,8 Juta untuk Edarkan Narkoba di Jaksel

Megapolitan
Polisi Temukan 488 Gram Sabu Saat Gerebek Rumah Kos di Jaksel

Polisi Temukan 488 Gram Sabu Saat Gerebek Rumah Kos di Jaksel

Megapolitan
KPU: Mantan Gubernur Tak Bisa Maju Jadi Cawagub di Daerah yang Sama pada Pilkada 2024

KPU: Mantan Gubernur Tak Bisa Maju Jadi Cawagub di Daerah yang Sama pada Pilkada 2024

Megapolitan
Heru Budi Sebut Pemprov DKI Bakal Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket yang Ditertibkan

Heru Budi Sebut Pemprov DKI Bakal Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket yang Ditertibkan

Megapolitan
Heru Budi Sebut Pemprov DKI Jakarta Mulai Tertibkan Jukir Liar Minimarket

Heru Budi Sebut Pemprov DKI Jakarta Mulai Tertibkan Jukir Liar Minimarket

Megapolitan
Rute KA Tegal Bahari, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Tegal Bahari, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
20 Pelajar SMA Diamankan Polisi akibat Tawuran di Bangbarung Bogor

20 Pelajar SMA Diamankan Polisi akibat Tawuran di Bangbarung Bogor

Megapolitan
Jakarta Utara Macet Total sejak Subuh Buntut Trailer Terbalik di Clincing

Jakarta Utara Macet Total sejak Subuh Buntut Trailer Terbalik di Clincing

Megapolitan
Polisi Periksa 36 Saksi Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Polisi Periksa 36 Saksi Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com