Radio komunitas ini menempati ruangan berukuran 3 meter x 2,5 meter. Siang itu, penyiar radio, yakni Haji Sudirman (62), mengudara di 105,2 FM menyapa pendengar. Sesekali Sudirman menyelingi siarannya dengan lantunan lagu Betawi.
”Buat saya, jadi penyiar radio bukan hanya pintar cuap-cuap, tetapi harus punya sikap rendah hati dan mau melayani. Apalagi radio SKS ini misinya ngelestariin pesodaraan, tutur pria asli Betawi itu.
Proses berdirinya Radio SKS dilakukan sejak 2012. Berawal dari tawaran mendirikan radio oleh badan Pelayanan Komunikasi Masyarakat dari Persatuan Gereja-gereja Indonesia (Yakoma-PGI), beberapa orang menyambutnya dengan mengadakan pertemuan.
”Pertemuan sejak November 2012 dari berbagai kelompok agama yang ada di sini, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Lalu disusun visi radio ini, yaitu memelihara persaudaraan warga Kampung Sawah,” kata Jacob Napiun, tokoh masyarakat yang ikut membidani lahirnya radio Suara Kampung Sawah (SKS).
Tidak berhenti di situ, agar warga semakin akrab dengan radio, diadakan pelatihan jurnalistik sebanyak lima kali dengan materi yang berbeda-beda. ”Seorang narasumber bilang, gencarnya informasi bisa membuat sesuatu yang tidak bernilai menjadi berharga atau sebaliknya. Melalui radio, kami ingin memelihara kerukunan dan keberagaman yang justru sangat bernilai. Ini syiarnya,” ujar Jacob.
Meskipun demikian, radio tidak lantas berdiri. Pembelian alat terkendala dana. Untuk mengatasinya dibuatlah koran komunitas Suara Kampung Sawah (SKS) yang terbit perdana bulan Januari lalu. Pada masa kampanye pemilu legislatif, koran ini menjadi sarana memasang iklan para caleg.
Akhirnya, dana yang terkumpul dari bantuan Yakoma-PGI dan iklan koran komunitas SKS, dibelilah peralatan untuk mendukung siaran radio, seperti mixer dan transmitter.
”Untuk menaranya kami dapatkan dari seorang caleg yang ditukar dengan beriklan di koran,” kata B Eddy Pepe, ketua pengurus radio SKS.
Radio santun
Radio SKS mengudara sejak sore pukul lima hingga tengah malam. Radius siarannya sekitar 5 kilometer dari stasiun penyiaran.
Selain Haji Sudirman, masih ada sembilan penyiar lain. ”Saya bukan paling senior untuk penyiar, melainkan paling tua,” ujar mantan Lurah Bidaracina itu bercanda.
Beberapa acara radio itu di antaranya adalah goyang dangdut, tembang keroncong, campursari, dan diskusi mingguan. Diskusi mingguan bisa membahas soal kearifan lokal, infrastruktur, anak muda, dan yang sedang dirancang adalah wawasan kebangsaan.
”Yang khas adalah adanya dialog antara penyiar dengan warga yang telepon atau sms. Dialeknya khas. Bisa jadi lagunya sedikit, dialognya banyak, kadang ada pantunnya lagi,” kata Jacob.
Ketika Sudirman tidak siaran, banyak yang menanyakan. Rupanya, para pendengar kangen sapaannya.