Berdasarkan laporan yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang Januari-September 2014 terdapat 2.726 kasus pelanggaran hak anak yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebanyak 52 persen merupakan kejahatan seksual.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, di Jakarta, Kamis (18/12), menyebutkan, DKI menempati urutan teratas kasus pelanggaran hak anak atau sebanyak 667 kasus, diikuti Bekasi dan Tangerang.
Lebih dari setengah kasus pelanggaran hak anak di DKI Jakarta atau sebanyak 52,7 persen (332 kasus) merupakan kejahatan seksual. Dari jumlah itu, 22 persen kasus tidak sampai ke pengadilan karena dianggap kurang cukup bukti.
Menurut Arist, secara umum, jumlah kejahatan seksual tahun ini lebih rendah daripada tahun sebelunya. Namun, kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan anak jumlahnya meningkat.
Hukum belum maksimal
Di Jakarta, dari jumlah kasus kejahatan seksual yang dibawa ke pengadilan, umumnya terdakwa dihukum 3-9 tahun penjara. Namun, ada pula yang dinyatakan bebas (tujuh kasus). Sebagian lainnya dihukum kurang dari 3 tahun penjara atau di bawah batas minimum hukuman yang disyaratkan undang-undang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Sejauh ini tak satu pun terdakwa dihukum maksimal.
Salah satu kasus yang saat ini dalam proses persidangan adalah kejahatan seksual yang dialami pelajar Jakarta International School (JIS). Kasus ini menyeret tujuh terdakwa, yaitu lima petugas kebersihan dan dua guru, ke pengadilan. Senin (22/12/2014), sidang dengan agenda vonis lima terdakwa petugas kebersihan akan digelar.
Thr, ibu salah satu korban, berharap hakim dapat memvonis para terdakwa berdasarkan fakta yang terungkap.
Ahmad Yunus dari Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjelaskan, pengadilan adalah pintu terakhir dari rangkaian proses penegakan hukum. Proses itu dimulai dari pendidikan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, hingga terakhir pengadilan. Berbagai kelemahan yang muncul dalam proses itu berpotensi mengaburkan fakta persidangan.
Proses penyelidikan, misalnya, harus dilaksanakan tanpa melanggar hukum. Apabila dalam persidangan terdakwa mengatakan dipukul atau disiksa aparat, hal itu akan mengaburkan fakta.
Selain itu, sejumlah kelemahan bukti visum pun kerap muncul. ”Bukti visum kita belum sampai menjelaskan bercak sperma atau darah,” kata Ahmad.
Psikolog anak dan remaja Irma Gustiana mengatakan, penegakan hukum di Indonesia belum sebanding dengan dampak psikologi yang dialami anak korban kejahatan seksual.
”Dalam kejahatan seksual, pelaku mengancam dan menyakiti anak secara fisik dan seksual. Dampak psikologi yang dialami anak bisa berkepanjangan hingga mereka dewasa. Dampak itu juga dirasakan orangtua dan keluarga korban. Dampak jangka panjang itu yang belum dipertimbangkan penegakan hukum,” kata Irma.
Menurut dia, penegakan hukum yang berkeadilan penting untuk memutus mata rantai kekerasan seksual mengingat korban berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual pada masa depan. (DNA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.