"Apalagi struk-struknya harus disimpan dulu baru bisa ditukar, Pak. Jadi, enggak langsung ngerasain hasilnya," tambah dia.
Kepada Syarif, mereka mengatakan harus menyewa gerobak sekitar Rp 370.000 kepada pengelola. Untuk penjual makanan, mereka harus rela dipotong hingga Rp 7.000 per porsi dari harga jual.
Salah seorang pedagang bahkan ada yang mengadu kepada Syarif bahwa dalam satu bulan, dia hanya berhasil menjual satu mangkung mi godok. "Padahal, saya punya tiga anak yang harus diberi makan, Pak. Utang udah numpuk buat modal," ujar salah seorang pedagang.
Syarif pun heran bahwa para pedagang masih betah berjualan di Lenggang Jakarta. "Bapak hebat, ya. Masih kuat jualan. Terus, senang enggak, Bapak jualan di sini?" tanya Syarif.
"Enggak senang, Pak," jawab si pedagang.
"Kok bertahan?" tanya Syarif.
Para pedagang pun mengungkapkan alasan mereka bertahan berjualan di Lenggang Jakarta. "Kalau menurut saya, enakan di luar, Pak. Kalau di dalam, kami enaknya bisa duduk doang. Cuma, enggak laku. Ya tetapi daripada di luar dikejar kamtib, terus mau tebus malah susah, akhirnya bertahan dagang di sini aja," ujar si pedagang.
Syarif pun mengatakan akan mengusahakan agar sistem pembayaran di Lenggang Jakarta bisa diperbaiki agar para pedagang tidak mengalami kerugian. "Nanti saya omongin gimana cara transaksinya. Gubernur kan memang enggak mau transaksi tunai, tetapi buat pedagang kalau gitu kejepit banget. Pengeluaran mendadak kan butuh juga," ujar Syarif.
Pada dialog bersama PKL siang ini, Syarif didampingi oleh Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Syarif diajak untuk berdialog langsung dengan PKL untuk mengetahui keluh kesah mereka.