Semua usaha itu utamanya bertujuan untuk menanggulangi banjir yang terbiasa menyambangi Jakarta setiap musim hujan tiba.
Fakta tersebut terungkap dalam diskusi "Jakarta Kota Sungai" yang diselenggarakan Kompas, Selasa (19/1).
Hadir dalam diskusi itu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama; Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mudjiadi; Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia Restu Gunawan; pakar tata kota dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang; Kepala Puslitbang BMKG yang juga Vice Chair Working Group I IPCC Edvin Aldrian; serta peneliti dan pemerhati Ciliwung, Ernan Rustiadi dari P4W IPB. Laporan terkait diskusi akan diterbitkan berseri mulai hari ini, Senin (25/1), hingga Jumat (29/1).
Rekayasa sungai di masa lampau dilaksanakan dengan pola yang mirip dengan saat ini. Sungai dibelokkan, disodet agar kawasan tertentu terhindar dari sergapan genangan. Permukiman dan lahan milik warga dibebaskan untuk pembangunan.
Penggusuran dilakukan dengan pembayaran ganti rugi hak atas tanah. Perlawanan juga terjadi, antara lain, karena tidak cocok antara penetapan harga dari pemerintah dan perhitungan kerugian warga.
"Ada sebagian warga yang digusur dan pindah ke tempat lain. Perlawanan warga karena tergusur pun sempat bergulir lama, seperti yang terjadi di masa sekarang. Itu terjadi misalnya saat pengerjaan Kanal Barat," kata Restu.
Pasca kekuasaan Belanda, penanggulangan banjir berjalan lambat. Namun, setidaknya dalam lima tahun terakhir, ditandai dengan terselesaikannya Kanal Timur, proyek penataan sungai-sungai di Jakarta kembali dikebut.
Istilah normalisasi mulai sering disebut yang secara visual terlihat dari pelebaran, pengerukan kali, dan penurapan beton vertikal disertai kelengkapan fasilitas jalan inspeksi sungai.
"Dari tahun 1930-an saat penduduk Batavia 500.000 orang sampai sekarang mencapai 10 juta jiwa, kok, nyaris tidak ada perbedaan pada proyek pembangunan untuk atasi banjir. Seperti Kanal Timur, sodetan ke Kanal Timur, sampai sempat sebelumnya ada usulan Deep Tunnel. Semua juga dengan penggusuran warga dan penggunaan beton masif. Apakah yang sekarang dilakukan tetap akan bertahan untuk kelanjutan Jakarta nantinya?" kata Restu lagi.
Ernan menegaskan, beton yang kedap air menutup kesempatan proses meresapnya air ke dalam tanah untuk mengisi kembali cadangan air tanah. Habitat biota sungai akan kesulitan hidup dan berkembang biak.