JAKARTA, KOMPAS.com - Elektabilitas bakal calon gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama "Ahok", masih kuat dibandingkan dengan para penantangnya.
Hasil survei Charta Politika yang dilakukan 15-20 Maret menunjukkan bahwa elektabilitas Ahok mencapai 51,8 persen jika disimulasikan dengan 13 nama bakal cagub lainnya.
Di urutan kedua, ada Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dengan elektabilitas 11 persen, kemudian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini 7,3 persen, Hidayat Nur Wahid 3,3 persen, dan Adhyaksa Dault 2 persen.
Sisanya sembilan nama bakal cagub lainnya seperti Ahmad Dhani, Sandiaga Uno, Abraham Lunggana, dengan perolehan dibawah angka dua persen.
Selain itu, ada sekitar 17,3 persen tidak memilih atau tidak menjawab dalam survei ini. (Baca juga: Elektabilitas Masih di Bawah 70 Persen, Ahok Dinilai Politisi Gerindra Belum Aman).
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai, ada beberapa faktor masih kuatnya elektabilitas Ahok.
Salah satunya adalah posisi Ahok yang saat ini menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, kuatnya elektabilitas Ahok dinilainya karena belum ada bakal calon, selain Yusril, yang jelas mendeklarasikan dirinya dan dianggap layak maju.
Kendati demikian, Yunarto mengatakan bahwa elektabilitas saja belum cukup untuk membawa kemenangan.
Perlu pertimbangan faktor lainnya bagi masyarakat memilih seorang calon gubernur. Yunarto lantas mencontohkan fenomena dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
Ketika itu, calon gubernur petahana, Fauzi Bowo, memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga.
Namun, Fauzi tetap bisa dikalahkan Joko Widodo yang berpasangan dengan Ahok.
Padahal, menurut Yunarto, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Fauzi Bowo cukup rendah berdasarkan beberapa survei menjelang Pilkada.
Hal ini berbeda dengan hasil survei terkait kinerja Ahok. Menurut dia, publik saat ini cenderung puas dengan kinerja Ahok memimpin Jakarta.
Hasil survei Charta Politika menyebutkan bahwa kepuasan publik akan kinerja Ahok mencapai 82,8 persen.
"Kalau seorang calon bisa menjaga tingkat kepuasan publik sebanyak 70 persen, itu most likely biasanya menang, 60 - 70 persen, punya kemungkinan besar untuk menang asal mengimbangi pola kampanye kandidat lain. Sebanyak 50 sampai 60 persen, biasanya lampu kuning, below (di bawah) 50, biasanya incumbent kalah," tutur Yunarto.
Menurut Yunarto, tingkat kepuasan publik merupakan modal sosial yang harus dijaga menjelang pemilihan. (Baca juga: "Teman Ahok" Nilai Elektabilitas Ahok Unggul karena Calon Lain Belum Jelas).
Elektabilitas tinggi yang tidak dibarengi dengan tingginya kepuasan publik akan kinerja, tidak menjadi jaminan kemenangan petahana.
"Rasionalitas pemilih Jakarta melihat perubahan di Jakarta terjadi ketika orang maju menantang incumbent (petahana) punya modal sosial berupa track record yang terkait dengan pekerjaan saat jadi gubernur DKI Jakarta nanti," kata Yunarto di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).
Jokowi dan Ahok datang ke Jakarta dengan keberhasilan kerja mereka menjadi pemimpin di Solo dan Belitung Timur.
Masyarakat melihat kerja keduanya lebih baik dibandingkan dengan kerja Fauzi Bowo di Jakarta selama lima tahun menjabat sebagai gubernur.