JAKARTA, KOMPAS.com - Keluarga guru yang tinggal di Jalan Danau Limboto, Pejompongan, Jakarta Pusat, memprotes langkah Pemerintah Provinsi DKI yang akan menggusur kediaman mereka.
Mereka kecewa karena rumah yang akan digusur merupakan rumah-rumah guru yang sudah puluhan tahun mengajar di sekolah sekitar kawasan tersebut.
Warga RT 21, Rumondang Nefolita, menjelaskan kronologi rencana penggusuran ini, Jumat (22/4/2016).
"Ada 7 rumah yang mayoritas dihuni oleh keluarga guru," ujar Rumondang.
Rumah tersebut adalah milik Selamat, Fariha, Deny Suteja, Idris, Carman, Luneto, dan TNS Panggabean. Rumondang mengatakan mereka merupakan guru yang menetap di daerah tersebut sekitar 40 tahun lalu.
Rumondang sendiri merupakan anak dari TNS Panggabean yang rumahnya juga akan digusur.
"Dulu ini adalah kawasan rawa. Tapi tidak ada sekolah di sini. Makanya ada 3 orang yg memikirkan edukasi lingkungan di sini yaitu Pak Selamet, Luneto, dan TNS Panggabean," ujar Rumondang.
Ketiga guru tersebut meminta kepada gubernur saat itu agar dibangun sekolah di lingkungan itu. Hingga akhirnya, sekolah-sekolah dibangun dan dikelola oleh 3 guru tersebut. (Baca: Pengamat Nilai Akan Banyak Penggusuran yang Dilakukan Pemprov DKI)
Sampai saat ini, beberapa sekolah memang berdiri berdekatan di kawasan tersebut. Setelah sekolah dibangun, ketiganya kembali meminta izin menggunakan lahan negara untuk tempat tinggal mereka. Mereka pun tinggal di lingkungan tersebut hingga sekarang.
Surat peringatan mulai turun
Beberapa tahun yang lalu, mereka sempat mendapatkan sosialisasi mengenai rencana penggusuran rumah mereka. Saat itu juga,mereka mulai berinisiatif untuk membuat sertifikat untuk lahan yang mereka tempati saat ini. Namun, kata Rumondang, mereka selaku dipersulit sampai sekarang.
"Satu tahu kita tidak digubris, disenggol apapun tidak ada. Tapi ujuk-ujuk turun SP 1," ujar Rumondang.
SP 1 turun pada 8 April 2016. Isinya, warga diminta untuk mengosongkan bangunan terhitung waktu 7×24 jam. Rumondang mengatakan warga sudah mulai tidak tenang dengan turunnya SP tersebut.
Satu pekan kemudian, SP 2 pun turun dengan jangka waktu 3×24 jam.
"Kok tega banget ya sementara yang mendirikan sekolah itu adalah bapak-bapak kami," ujar dia.