JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kekerasan berujung maut yang dilakukan senior terhadap junior kembali terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara, kali ini menimpa taruna tingkat pertama bernama Putu Satria Ananta Rastika (19).
Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes (Pol) Gidion mengatakan, aksi kekerasan senior terhadap junior disebut sebagai budaya atau tradisi taruna di kampus tersebut.
“Terkait kasus pemukulan, memang ada yang menyebut (pemukulan) sebagai tradisi taruna. Ada juga yang menyebut sebagai penindakan terhadap junior,” ujar Gidion di kantornya, Sabtu (4/5/2024).
Baca juga: Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi Penindakan
Berkaca dari kasus penganiayaan terhadap Putu, Gidion menyebut ada motif senioritas di dalamnya.
Gidion berujar, tersangka penganiayaan Putu, Tegar Rafi Sanjaya (21), memiliki rasa arogansi terhadap juniornya.
Sebagai senior tingkat 2, Tegar merasa perlu melakukan ‘penindakan’ ketika melihat juniornya melakukan kesalahan.
“Ada yang salah menurut persepsi senior (Tegar), sehingga korban dan empat temannya dikumpulkan di dalam toilet,” kata Gidion.
Menurut Gidion, Tegar tega menganiaya Putu sampai akhirnya korban tewas karena arogansinya sebagai senior.
“Motifnya ya itu, kehidupan senioritas. Jadi mungkin tumbuh rasa arogansi,” ujar Gidion.
Senioritas itu, kata Gidion, tampak sebelum peristiwa pemukulan terjadi.
Baca juga: Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi
Disebutkan bahwa Tegar sempat bertanya ke korban dan empat temannya soal siapa yang paling kuat di antara mereka berlima.
"Ada satu kalimat dari tersangka yang menyatakan gini, ‘Mana yang paling kuat?’," kata Gidion.
"Kemudian korban mengatakan bahwa dia yang paling kuat karena dia merasa dirinya adalah ketua kelompok dari komunitas tingkat 1 ini,” sambungnya.
Mendengar ucapan itu, Tegar seketika melayangkan pukulan ke arah ulu hati Putu hingga korban tersungkur.
Pengamat pendidikan sekaligus Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, tindakan mendisiplinkan seseorang yang berbuat salah tidak boleh menggunakan cara kekerasan.