Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Audit BPK soal Sumber Waras Dinilai Keliru oleh Sejumlah Pakar

Kompas.com - 02/06/2016, 20:01 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pakar dan pegiat antikorupsi, Kamis (2/6/2016), meluncurkan sebuah catatan dan penilaian atas hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.

Dalam catatan yang terangkum pada buku berjudul Jalan Lurus Menuju Sumber Waras, tim penulis yang dikepalai mantan auditor BPKP, Leonardus Joko Eko Nugroho, menilai, hasil audit BPK keliru. Kekeliruan audit BPK yang pertama ada pada penetapan alamat pembelian lahan.

BPK merujuk pada nilai jual obyek pajak (NJOP) Jalan Tomang Utara, yakni Rp 7 juta per meter persegi. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta merujuk ke Jalan Kyai Tapa dengan NJOP pada tahun pembelian atau tahun 2014 sebesar Rp 20,7 juta per meter persegi.

"Lokasi RS Sumber Waras berada di Jalan Kyai Tapa sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan BPN dan Dirjen Pajak. Argumentasi BPK bahwa lokasi Sumber Waras di Jalan Tomang Utara adalah salah alamat dan terlalu mengada-ada," kata Leo di Hotel Oria, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis.

Kekeliruan berikutnya ada pada perhitungan BPK soal kerugian. BPK menyebut adanya kerugian sebesar Rp 191 miliar. Angka tersebut berasal dari selisih penjualan lahan.

Pada 2013, Yayasan Sumber Waras membuat ikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Utama (PT CKU). Pada tahun tersebut, NJOP sebesar Rp 12,195 juta per meter persegi.

Sumber Waras menawarkan lahan tersebut kepada PT CKU seharga Rp 15,500 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari NJOP pada saat itu. Jika harga yang ditawarkan Sumber Waras dikali luas lahan yang dibeli seluas 36.441 meter persegi, maka pembayaran tersebut sebesar Rp 564 miliar.

Selanjutnya, pada 7 Desember 2014, Pemprov DKI melakukan ikatan kontrak dengan NJOP yang berlaku saat itu, yakni sebesar Rp 20,755 juta per meter persegi. Total uang yang dibayarkan Pemprov DKI untuk membeli lahan itu sebesar Rp 755 miliar.

Selisih harga penawaran PT CKU pada 2013 dengan harga yang dibayarkan Pemprov DKI Jakarta pada 2014 sebesar Rp 191 miliar. Angka itu yang disebut sebagai kerugian. Angka tersebut dinilai tidak valid karena NJOP sudah jelas berbeda.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun, yang terlibat dalam penulisan buku itu, menilai bahwa tudingan BPK justru menghambat terobosan yang ingin dilakukan Pemprov DKI. BPK menilai, ada aturan yang ditabrak dalam proses pengadaan lahan Sumber Waras. Aturan yang dimaksud ada pada tahap perencanaan.

"Terobosan yang memotong birokrasi ini seharusnya didukung. Karena selama tidak ada aturan yang ditabrak dan sesuai koridor, ini sebuah kemajuan," kata Refly.

Refly menilai, jika tidak ada niat jahat untuk korupsi dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, maka upaya memidanakan justru akan menjadi preseden buruk bagi kepala daerah lainnya.

"Nanti kepala daerah akan takut, nggak mau membuat keputusan karena potensi dikriminalisasi," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Kembali ke Kantor Usai Buang Jasad Korban

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Kembali ke Kantor Usai Buang Jasad Korban

Megapolitan
Pemkot Depok Akan Bebaskan Lahan Terdampak Banjir di Cipayung

Pemkot Depok Akan Bebaskan Lahan Terdampak Banjir di Cipayung

Megapolitan
Polisi Buru Maling Kotak Amal Mushala Al-Hidayah di Sunter Jakarta Utara

Polisi Buru Maling Kotak Amal Mushala Al-Hidayah di Sunter Jakarta Utara

Megapolitan
Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan Meninggal Dunia

Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan Meninggal Dunia

Megapolitan
Polisi Selidiki Pelaku Tawuran yang Diduga Bawa Senjata Api di Kampung Bahari

Polisi Selidiki Pelaku Tawuran yang Diduga Bawa Senjata Api di Kampung Bahari

Megapolitan
'Update' Kasus DBD di Tamansari, 60 Persen Korbannya Anak Usia SD hingga SMP

"Update" Kasus DBD di Tamansari, 60 Persen Korbannya Anak Usia SD hingga SMP

Megapolitan
Bunuh dan Buang Mayat Dalam Koper, Ahmad Arif Tersinggung Ucapan Korban yang Minta Dinikahi

Bunuh dan Buang Mayat Dalam Koper, Ahmad Arif Tersinggung Ucapan Korban yang Minta Dinikahi

Megapolitan
Pria yang Meninggal di Gubuk Wilayah Lenteng Agung adalah Pemulung

Pria yang Meninggal di Gubuk Wilayah Lenteng Agung adalah Pemulung

Megapolitan
Mayat Pria Ditemukan di Gubuk Wilayah Lenteng Agung, Diduga Meninggal karena Sakit

Mayat Pria Ditemukan di Gubuk Wilayah Lenteng Agung, Diduga Meninggal karena Sakit

Megapolitan
Tawuran Warga Pecah di Kampung Bahari, Polisi Periksa Penggunaan Pistol dan Sajam

Tawuran Warga Pecah di Kampung Bahari, Polisi Periksa Penggunaan Pistol dan Sajam

Megapolitan
Solusi Heru Budi Hilangkan Prostitusi di RTH Tubagus Angke: Bikin 'Jogging Track'

Solusi Heru Budi Hilangkan Prostitusi di RTH Tubagus Angke: Bikin "Jogging Track"

Megapolitan
Buka Pendaftaran, KPU DKI Jakarta Butuh 801 Petugas PPS untuk Pilkada 2024

Buka Pendaftaran, KPU DKI Jakarta Butuh 801 Petugas PPS untuk Pilkada 2024

Megapolitan
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Anggota PPS untuk Pilkada 2024

KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Anggota PPS untuk Pilkada 2024

Megapolitan
Bantu Buang Mayat Wanita Dalam Koper, Aditya Tak Bisa Tolak Permintaan Sang Kakak

Bantu Buang Mayat Wanita Dalam Koper, Aditya Tak Bisa Tolak Permintaan Sang Kakak

Megapolitan
Pemkot Depok Bakal Bangun Turap untuk Atasi Banjir Berbulan-bulan di Permukiman

Pemkot Depok Bakal Bangun Turap untuk Atasi Banjir Berbulan-bulan di Permukiman

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com