JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim menilai, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak perlu diberi peringatan keras terlebih dahulu terkait penodaan agama.
Penilaian hakim ini menanggapi eksepsi dari penasihat hukum Ahok yang mengatakan, dakwaan tak dapat diterima karena mengesampingkan mekanisme teguran keras yang tercantum dalam Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan, perkara Ahok diajukan ke persidangan dengan dakwaan alternatif Pasal 156a KUHP dan Pasal 156 KUHP.
"Menimbang dalil penasihat hukum terdakwa menyatakan mengabaikan atau mengesampingkan legalitas dari peringatan keras sebagai hukum positif adalah tidak benar," kata Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto di PN Jakarta Utara, Selasa (27/12/2016).
Sebab, dalam Pasal 4 UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebutkan bahwa pada KUHP diadakan pasal baru, yakni Pasal 156 KUHP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 tersebut, disisipkan juga Pasal 156a KUHP sehingga dakwaan Pasal 156a oleh penuntut umum terhadap Ahok tak mengabaikan atau mengesampingkan UU Penodaan Agama.
Selain itu, majelis hakim juga tak sependapat bila Ahok harus diberi peringatan keras dahulu seperti yang dicantumkan dalam nota keberatan penasihat hukum.
"Menimbang bahwa dalam dakwaan pertama terdakwa didakwa Pasal 156a KUHP yang merupakan pasal baru di KUHP atas ketentuan Pasal 4 UU PNPS. Dengan demikian, penerapan Pasal 156a tidak perlu proses peringatan keras, maka keberatan penasihat hukum tak berdasar," kata dia.