Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah di Balik Batu Nisan Megah di Museum Taman Prasasti

Kompas.com - 13/02/2017, 06:30 WIB
Cahyu Cantika Amiranti

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua buah kereta jenazah menjadi hal pertama yang akan dilihat pengunjung ketika datang ke Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dua kereta tersebut berada persis sebelum meja tempat membeli tiket.

Setelah membeli tiket, pengunjung akan memasuki gerbang bagian utama museum yang berisi hamparan batu-batu nisan. Saat masuk, pengunjung akan langsung melihat ada sebuah lonceng. Menurut Guide Museum Taman Prasasti, Eko Wahyudi, lonceng tersebut dulu dibunyikan ketika ada jenazah datang untuk dimakamkan.

Selanjutnya, jika melihat ke sebelah kiri, pengunjung akan langsung melihat sebuah patung perempuan yang terlihat menangis.

"Menurut legenda, perempuan tersebut sangat sedih kehilangan sang suami yang baru dinikahinya selama beberapa bulan akibat malaria. Karena tidak kuat menahan rasa sedih, akhirnya perempuan ini meninggal gantung diri," ujar Eko kepada Kompas.com, pekan lalu.

Selain itu, di sisi sebelah kiri juga terlihat dua buah peti jenazah di dalam kaca. Kedua peti ini pernah digunakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.

Peti yang digunakan Soekarno tersebut membawa jenazah Sang Proklamator dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) ke Wisma Yaso—sekarang Museum Satria Mandala—untuk disemayamkan.

Sementara itu, peti Mohammad Hatta digunakan untuk membawa jenazah dari Rumah Sakit Dr. Tjitpto Mangunkusumo (RSCM) ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir. Bung Hatta memang berwasiat ingin dimakamkan di tengah-tengah masyarakat.

Di sebelah kanan peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta juga terdapat sebuah batu untuk sembahyang dengan tulisan Jepang. Eko mengatakan, batu tersebut dibuat sebagai tugu peringatan untuk mengenang para tentara Jepang yang tewas melawan Sekutu.

Ketika perwakilan Kedutaan Jepang datang ke Indonesia pun biasanya menyempatkan diri untuk bersembahyang di sana.

Cahyu Cantika Amiranti Makam keluarga A. J. W. Van Delden.
Selanjutnya, di depan batu Jepang tersebut terdapat nisan berbentuk seperti rumah. Bangunan yang sering disebut rumah bumi ini merupakan makam keluarga A. J. W. Van Delden. Dia merupakan seorang juru tulis di Indonesia Timur dan pernah menjabat sebagai ketua perdagangan VOC.

Berjalan sedikit ke arah kiri dari rumah bumi, terdapat makam istri Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles. Batu nisannya terbuat dari batu andesit.

"Dia memiliki wasiat untuk dimakamkan dekat sahabatnya yang bernama John Casferleyden. Sekarang batu nisan mereka pun letaknya bersebelahan," ucap Eko.

Kemudian pengunjung akan melihat beberapa batu nisan lain yang terlihat besar dan megah. Contohnya batu nisan berbentuk seperti candi yang merupakan milik seorang ahli sastra Jawa kuno bernama Dr. Jan Laurens Andries Brandes.

"Bagian atas candi tersebut tidak utuh. Hal itu merupakan simbol bahwa dia masih memiliki keinginan yang belum tercapai," kata Eko.

Terdapat juga batu nisan yang berbentuk seperti katedral berwarna hijau. Batu nisan ini dibuat untuk Panglima Perang bernama J. J. Pierrie karena jasanya yang dianggap besar oleh pemerintah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DPRD DKI: Tidak Ada Anggaran untuk Beri Pekerjaan Eks Jukir Liar Minimarket

DPRD DKI: Tidak Ada Anggaran untuk Beri Pekerjaan Eks Jukir Liar Minimarket

Megapolitan
Prabowo Kantongi Nama Kader Gerindra yang Akan Maju Pilgub DKI Jakarta

Prabowo Kantongi Nama Kader Gerindra yang Akan Maju Pilgub DKI Jakarta

Megapolitan
Paniknya Maling Motor di Koja, Ditangkap Warga Usai Aksinya Ketahuan sampai Minta Tolong ke Ibunya

Paniknya Maling Motor di Koja, Ditangkap Warga Usai Aksinya Ketahuan sampai Minta Tolong ke Ibunya

Megapolitan
Pengelola Minimarket Diminta Juga Tanggung Jawab atas Keamanan Kendaaraan yang Parkir

Pengelola Minimarket Diminta Juga Tanggung Jawab atas Keamanan Kendaaraan yang Parkir

Megapolitan
Soal Wacana Pekerjaan Bagi Jukir Minimarket, Pengamat: Tergantung 'Political Will' Heru Budi

Soal Wacana Pekerjaan Bagi Jukir Minimarket, Pengamat: Tergantung "Political Will" Heru Budi

Megapolitan
Heru Budi Janjikan Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket, Pengamat: Jangan Hanya Wacana!

Heru Budi Janjikan Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket, Pengamat: Jangan Hanya Wacana!

Megapolitan
Babak Baru Kasus Taruna STIP Dianiaya Senior hingga Tewas, Muncul 3 Tersangka Baru yang Ikut Terlibat

Babak Baru Kasus Taruna STIP Dianiaya Senior hingga Tewas, Muncul 3 Tersangka Baru yang Ikut Terlibat

Megapolitan
Solidaritas Pelaut Indonesia Minta Senioritas ala Militer di STIP Dihapuskan

Solidaritas Pelaut Indonesia Minta Senioritas ala Militer di STIP Dihapuskan

Megapolitan
Polisi Tangkap Pemalak Sopir Truk yang Parkir di Jalan Daan Mogot

Polisi Tangkap Pemalak Sopir Truk yang Parkir di Jalan Daan Mogot

Megapolitan
Setuju Jukir Liar Minimarket Ditertibkan, Anggota DPRD DKI: Meresahkan

Setuju Jukir Liar Minimarket Ditertibkan, Anggota DPRD DKI: Meresahkan

Megapolitan
'Budaya Kekerasan di STIP Tak Ada Kaitannya dengan Dunia Kerja di Kapal'

"Budaya Kekerasan di STIP Tak Ada Kaitannya dengan Dunia Kerja di Kapal"

Megapolitan
4 Tersangka Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior Terancam 15 Tahun Penjara

4 Tersangka Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior Terancam 15 Tahun Penjara

Megapolitan
Pemerataan Air Bersih di Jakarta, Mungkinkah?

Pemerataan Air Bersih di Jakarta, Mungkinkah?

Megapolitan
Begini Peran 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Begini Peran 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Megapolitan
Bertambah 3, Kini Ada 4 Tersangka Kasus Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas

Bertambah 3, Kini Ada 4 Tersangka Kasus Penganiayaan Taruna STIP hingga Tewas

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com