JAKARTA, KOMPAS.com —
Rongrongan terhadap rasa aman tampaknya belum kunjung reda. Dalam beberapa hari terakhir, publik kembali harus mencerna fakta memprihatinkan tentang tawuran antarpemuda di Johar Baru, Jakarta Pusat, dan tawuran antarpelajar di Bogor, Jawa Barat.

Kerugian material dan jatuhnya korban seolah tidak mampu menghentikan atau memutus rantai kekerasan itu.

Di Bogor, misalnya, dalam dua hari berturut-turut, Senin (18/11/2013) dan Selasa (19/11/2013), dua pelajar diserang pelajar lain dengan menggunakan senjata tajam saat pulang sekolah.

Dalam peristiwa yang terjadi pada Selasa, seorang siswa SMP Telaga Kautsar, Mohammad Mahdor (15), tewas karena sabetan celurit yang mengenai lehernya. Ketika diserang, ia bersama tujuh rekannya sedang pulang sekolah dengan berjalan kaki. Saat melintas di depan Kantor Desa Cibatok, Cibungbulang, Kabupaten Bogor, rombongan kecil itu tiba-tiba diserang tiga siswa dari SMP Pandu dengan menggunakan celurit. Setelah melukai korban, mereka segera melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor.

Warga berupaya menolong Mahdor. Namun, nyawanya tak tertolong saat dilarikan ke sebuah klinik desa.

Ketujuh teman korban selamat. Seorang dari mereka mengenali salah satu penyerang. Dari keterangannya, polisi berhasil melacak dan menangkap tiga siswa SMP Pandu itu. Mereka ialah AH (13), HA (13), dan ES (13). Mereka ditangkap di rumah masing-masing, Selasa malam.

Penyerangan itu menambah panjang deretan kasus kekerasan antarpelajar di Bogor. Sebelumnya, Senin siang lalu, Aldi Suryawijaya (15), siswa SMP Negeri 1 Sukaraja, Kabupaten Bogor, dibacok saat pulang sekolah. Aldi saat ini masih dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor. Belum diketahui siapa penyerangnya.

Mahdor merupakan korban tewas kedua dalam dua bulan terakhir. Sebelumnya, Adi Nugraha (16), siswa SMK Wira Buana, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Citama, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Kamis (24/10/2013), setelah diserang sekelompok siswa SMK Izzata, Depok.

Pada tahun ajaran 2010-2011, di Bogor tercatat 80 kasus tawuran yang menewaskan tujuh siswa. Pada tahun ajaran 2011-2012, jumlah kasus meningkat menjadi 108 kasus dengan jumlah korban tewas juga naik menjadi 10 siswa.

Sekretaris Satuan Tugas Pelajar Kabupaten Bogor Ronny Kusmaya menduga, penyerangan didasari rasa dendam. Ronny mengaku sangat prihatin karena siswa mencari cara lain untuk melukai lawan. Siswa tidak saling berhadapan dan tawuran, tetapi mengincar dan menyerang saat korban lengah dan efeknya mematikan.

Upaya hukum

Polri, Dinas Pendidikan, dan Satuan Tugas Pelajar berkali-kali bertemu dalam rapat koordinasi untuk mencari formula pencegahan tawuran.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor Fetty Qondarsyah mengatakan siap memperberat hukuman pelaku tawuran dengan menindak sekolah yang tidak berani mengeluarkan siswa yang beberapa kali tawuran. Sekolah yang siswanya kerap tawuran bisa ditutup. ”Pelbagai cara ditempuh untuk menekan dan mencegah tawuran,” katanya.

Kepala Polres Bogor Kota Ajun Komisaris Besar Bahtiar Ujang Purnama mengatakan, tawuran bisa dikategorikan tindak pidana. Ada unsur perencanaan sampai tindakan menganiaya orang lain secara bersama-sama, bahkan memakai senjata. Kondisi inilah yang membuat pelaku tawuran, walaupun berstatus siswa atau masih anak-anak, bisa diproses hukum. Penyidik berharap, proses hukum terhadap siswa dapat membawa efek jera. Namun, apakah betul siswa menjadi jera?

Dalam konteks yang berbeda, tampaknya pendekatan hukum belum mencukupi. Di Johar Baru, Jakarta Pusat, misalnya, meskipun polisi telah menangkap beberapa warga yang terlibat tawuran antarkelompok, konflik di kawasan padat penduduk itu terus berulang.

Terakhir, Senin dini hari dua kelompok pemuda dari Kelurahan Kampung Rawa berhadapan dan saling serang. Dalam peristiwa itu, sebuah rumah dan sebuah sepeda motor hangus terbakar. Lebih kurang dua bulan sebelumnya, tawuran juga terjadi di kawasan itu dan menyebabkan seorang polisi terkena air keras.

Pendekatan kewargaan

Brutalitas warga, apa pun penyulut dan motifnya, menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, sangat mengganggu rasa aman publik. Ia berpendapat, tindakan pengamanan saja tidak lagi mencukupi. ”Jika sebelumnya fokus pada tindakan aparat keamanan, saat ini perlu kembali pada tindakan politik kewargaan,” kata Robet.