Tawuran antarpelajar atau warga sangat terkait dengan relasi sosial dalam komunitas. Pada dasarnya, setiap individu baik. Namun, ketika memasuki suatu komunitas, individu tersebut bisa berubah menjadi brutal.
”Proses perubahan atau transformasi itulah fase paling penting. Dulu aparat dibuat sedemikian agar menakutkan warga. Namun, sekarang negara tidak bisa lagi hadir seperti itu. Negara diminta memiliki pendekatan yang lebih pedagogis, yaitu politik kewargaan, seperti membentuk paguyuban,” kata Robet.
Menurut Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, tawuran sebagai wujud kekerasan antarpelajar ataupun remaja telah hadir sebagai fenomena sosial yang terus hidup di kalangan remaja di Jakarta dan sekitarnya. Trennya pun terus meningkat sehingga memberikan indikasi bahwa anak masih sangat rentan terhadap kekerasan.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa lingkungan tempat tumbuh kembangnya anak malah subur dengan kekerasan. Padahal, semestinya lingkungan terdekat anak bisa menjadi benteng perlindungan bagi anak.
”Keluarga atau orangtua dan juga, yang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak adalah pilar pelindung anak, ternyata gagal memberikan perlindungan bagi anak,” ucap Arist saat menyampaikan catatan kritis Komnas PA pada Hari Anak Universal 2013 di kantor Komnas PA, Jakarta Timur.
Untuk mengatasinya, menurut Arist, pemerintah harus segera meningkatkan peran serta masyarakat mewujudkan negara yang ramah anak dan anak bebas dari kekerasan. Selain itu, aparat penegak hukum juga agar lebih proaktif menyelesaikan masalah anak secara cepat dan arif dengan selalu mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Ketua Harian Satgas Pelajar Kota Bogor Muhammad Iqbal mengatakan, keluarga dan sekolah amat berperan dalam mencegah tawuran dengan tidak memberi ruang munculnya permusuhan.
Siswa harus dibuat betah dan senang berada di keluarga dan sekolah. Di sekolah beberapa langkah yang coba dilakukan, antara lain, menghapuskan perpeloncoan serta memberikan siswa lebih banyak kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, musik, dan seni.
Untuk mengikis permusuhan, antar-SLTA perlu terus dipertemukan dalam kegiatan rutin yang positif, seperti pentas musik, seni, dan budaya serta kompetisi olahraga, terutama futsal dan basket yang amat digandrungi siswa. Iqbal memahami, mempertemukan sejumlah sekolah juga berisiko tinggi, yakni menciptakan peluang terjadi bentrokan. ”Namun, saya rasa, risiko harus diambil dan bisa diantisipasi karena ada nilai yang lebih penting untuk para siswa pahami, yakni sportivitas dan kebersamaan,” katanya.
Sejauh ini, belum ada catatan terjadi bentrokan antarsiswa saat kegiatan rutin yang positif. Siswa ternyata bisa diarahkan untuk tidak tawuran. Namun, saat tidak berkegiatan, sepulang sekolah, siswa berkelompok dan bertemu kelompok siswa lain di jalan raya, entah mengapa kemudian berlanjut menjadi tawuran. “Harus ada pelampiasan positif yang membuat siswa tidak berkeliaran di jalan,” katanya.
Di Johar Baru, beberapa kelompok pemuda pun tengah berupaya keras memutus rantai konflik di lingkungan mereka. Semoga saja upaya seperti ini ada hasilnya. (BRO/JOS/MDN)