Ada pun Saksono Seohodo (67), ketua RW 10, merupakan penggagas pembangunan lubang biopori di lingkungan pemukiman di wilayahnya. Upaya itu dimulai sejak 3 tahun silam, yang kemudian direspon baik oleh warganya.
Awalnya, Saksono membangun 500 lubang pada tahun 2009 tersebut. Seiring berjalannya waktu, kini lubang biopori di wilayahnya mencapai 2.400 lubang. Saksono mengenal sistem biopori setelah membaca tulisan salah satu dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamil. Dia lalu mencoba menerapkan teknik biopori di lingkungan wilayahnya.
"Ternyata efektif untuk percepatan surutnya air. Awalnya genangan itu bisa 50 cm, sekarang tingginya 20 cm," kata Saksono, saat ditemui di kediamannya, Sabtu (14/12/2013).
Saksono mengatakan, RW setempat mempekerjakan sekitar 19 orang pekerja meliputi 15 orang petugas kebersihan dan 4 orang petugas selokan. Seluruh petugas itu, juga menjadi pekerja yang membangun lubang biopori.
Dengan alat besi bor sederhana dan linggis, pekerja dalam waktu setengah jam sudah dapat menciptakan satu buah lubang biopori. Lubang itu, kata Saksono, memiliki kedalaman 1 meter dengan lebar 10cm. Bagian sisi atas lubang, ditanam pipa pralon dengan panjang 15cm untuk mencegah tanah gugur ke dalam lubang yang telah digali.
Pada bagian atasnya, Saksono menambahkan dengan jaring kawat yang berfungsi agar benda dan hewan lainnya tidak masuk ke dalam lubang biopori. Tiap lubang digali dengan jarak 1 meter.
Dari biopori yang ditemukan dosen IPB tersebut, kata Saksono, dalam waktu 1 jam setiap lubang mampu menyerap 120 liter air. Begitu lubang di bor dan sudah jadi, Saksono mengatakan ia memasukan kompos ke dalam biopori. Hal ini diyakini untuk membantu pertumbuhan cacing dan hewan lainnya dan membantu membentuk lubang kapiler di dalam tanah.
"Kompos jadi makanan untuk cacing, rayab, atau binatang tanah yang ada di dalam biopori membentuk jaringan pipa kapiler di dalam tanah. Sehingga, jaringan kapiler itu bisa saling nyambung dan menyerap air," ujar Saksono.
Ada pun kompos yang digunakan, katanya, berasal dari tempat pengolahan sampah organik yang telah dibentuk di lingkungan itu sejak tahun 2005. Wilayah itu, memiliki produksi sampah 12 meter kubik tiap perharinya. Ada 10-11 kubik sampah dapat terangkut tiap harinya oleh pihak kebersihan. Sisanya 1 meter kubik sampah, diolah untuk dijadikan kompos oleh pihaknya. Hasil produksi kompos, ada yang dijual perkilonya Rp 1.500 dan masuk kas RW.
Tidak hanya dijual, kompos juga digunakan untuk ditaburi di dalam lubang biopori tersebut. Kini setiap ruang terbuka hijau atau taman trotoar di kompleks, lalu pinggiran jalan wilayah itu sudah dibuatkan biopori.
Masif
Hampir seluruh wilayah RW yang memiliki luar 33 hektar itu, terdapat lubang biopori. Tiap lubang biopori menelan anggaran Rp 15.000. Saksono mendapat dukungan dari 15 RT yang berada di jajaran RW di wilayahnya.
Untuk membangun seluruh lubang biopori, tiap RT dengan suka rela menyerahkan uang operasional untuk RT dari Pemprov DKI masing-masing Rp 975.000, ditambah uang operasional Rp 1,2 juta untuk dimasukan ke kas RW. Ada pula uang iuran warga dengan jumlah mulai Rp 80.000 hingga maksimal Rp 200.000.
Anggaran itu digunakan untuk pertama, membayar tenaga kebersihan, linmas, merawat taman, selokan, dan mengoperasikan pabrik kompos. Termasuk pembuatan biopori, perawatan lingkungan dan kegiatan sosial lainnya.
"Kita akuntabel, tiap 3 bulan ada pelaporan keuangan," ujarnya.
Menurut Saksono, untuk bebas banjir seratus persen dengan upaya itu memang tidak mungkin. Namun, dengan membentuk biopori, dia berharap genangan air bisa lebih cepat surut. Selain itu, biopori berfungsi membantu menyediakan air tanah dengan kualitas yang lebih baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.