Merelokasi ratusan ribu jiwa dari permukiman padat di bantaran kali ke tempat lain sepertinya bakal membutuhkan waktu bertahun-tahun. Padahal, baru setelah relokasi warga bantaran selesai, upaya normalisasi yaitu membuat sungai kembali ke bentuk alaminya dulu, bisa dilakukan. Revitalisasi situ dan waduk sebagai wadah tandon air pun dipastikan berjalan lambat karena turut terjegal masalah pembebasan lahan.
Jadi, mengapa perbaikan kota tidak dimulai dari sesuatu yang tampak di depan mata, yaitu jaringan jalan dan saluran air. Keduanya sudah ada wujud fisiknya. Setiap tahun selalu ada anggaran untuk perbaikan, pembangunan, serta perawatan jalan dan saluran. Baik jalan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi, maupun kelurahan sudah ada pembagian kewenangan serta anggarannya dengan jelas.
Sepasang infrastruktur itu relatif mudah diperbaiki, dibangun, dan diyakini bisa memberi dampak positif besar pada tatanan kota. Seperti dikatakan pengamat transportasi dan perkotaan Iskandar Abubakar, infrastruktur jalan adalah tulang punggung kota. Menata kembali jalan, menjadi alat ampuh untuk merestrukturisasi kota.
Sebagai contoh, kawasan Jalan Fatmawati di Jakarta Selatan dalam satu tahun ke depan akan segera berubah total. Untuk keperluan pembangunan mass rapid transit (MRT), jalan di kawasan bisnis yang selama berpuluh tahun tak pernah dilebarkan, kini diperluas. Deretan toko dan tempat usaha milik warga yang selama ini bebas mengokupasi jalan harus rela dipangkas lahan parkir dan halaman depannya.
Di Jalan Fatmawati, 40 tahun silam hanya diperuntukkan kawasan perumahan. Namun, seiring tumbuh besarnya bisnis warga, kawasan ini justru menjadi pusat bisnis. Jalan Fatmawati merupakan salah satu penghubung utama antara kawasan di selatan Jakarta dan pusat kota seperti Blok M dan Sudirman-Thamrin.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-2030, Jalan Fatmawati menjadi pusat bisnis dan terus dikembangkan di masa depan. Salah satu indikasi pengembangan kawasan adalah dibangunnya MRT di jalur tersebut.
Meskipun penolakan dari warga datang bertubi-tubi hingga kini, atas dasar aturan yang berlaku, kawasan Fatmawati sejak akhir 2013 dibenahi. Walaupun belum final, hasilnya mulai terlihat. Jalan Raya Fatmawati yang awalnya terdiri dari masing-masing dua lajur, kini sebagian sudah menjadi tiga lajur.
Satu per satu warga yang memiliki bangunan menyalahi aturan dibuat salah tingkah. Toko elektronik dekat Pasar Blok A, misalnya, kini tidak lagi memiliki trotoar dan tempat parkir. Pintu depannya pas berbatasan dengan jalan aspal. Mau tidak mau pemilik toko harus segera berbenah atau pelanggan tidak akan datang karena susah parkir.
Mengapa tidak sekalian memakai pendekatan seperti di Fatmawati untuk setiap ruas jalan di Jakarta, termasuk menghidupkan kembali hak jalan inspeksi di sepanjang tepian sungai?
Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu mengeluhkan minimnya pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor di kota ini. Pertumbuhan jalan kurang dari 0,6 persen per tahun, sementara jumlah penduduk Jakarta—sesuai data Badan Pusat Statistik tahun 2012—sudah mencapai 10,1 juta jiwa.
Pertumbuhan kendaraan bermotor lebih dahsyat lagi. Jumlah kendaraan bermotor, baik sepeda motor, mobil pribadi, maupun kendaraan umum, sudah di atas 10 juta unit. Tahun lalu, Polda Metro Jaya mencatat setiap hari 200 unit mobil baru dibeli. Tidak heran jika Jakarta dikepung kemacetan minim solusi.
Penduduk yang banyak berdesakan di setiap ruang yang ada, termasuk di tepi kali, tak jarang merangsek menduduki badan sungai, atau membangun di atas saluran. Jangan heran jika melihat deretan mobil dan sepeda motor diparkir di pinggir jalan di dekat suatu kawasan yang dilanda banjir. Karena selain dihuni oleh orang tak mampu, sebagian penghuni bantaran kali pun kini sudah bisa membeli kendaraan roda dua ataupun roda empat.
Ironisnya, pemerintah kini sibuk membangun jalan layang dan jalan tol baru, tetapi seakan melupakan jalan-jalan reguler yang ada dan jalan-jalan yang seharusnya ada, seperti jalan inspeksi sungai. Ketika jalan tidak terurus, apalagi nasib saluran air. Padahal, jalan dan saluran adalah pasangan sejati yang selama ini jelas sering dipisahkan secara paksa baik oleh pemerintah maupun warga. Lihat saja di jalan- jalan sekeliling kita. Sudahkah ada saluran air yang memadai di kanan-kirinya?
"Ada jalan dan ada saluran adalah sebuah konsep sederhana. Itu diajarkan di tahun pertama saya kuliah dan siapa saja yang menekuni bidang ini. Konsep itu jauh sebelumnya sudah disadari oleh orang-orang tua kita dulu karena memahami sifat air. Bangun jalan itu tidak bisa terlalu datar, tetapi sedikit melengkung kemudian dilengkapi saluran di kanan-kirinya," kata Harun al-Rasyid Lubis dari Kelompok Kepakaran Rekayasa Transportasi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Saat jaringan jalan dan saluran direvitalisasi setidaknya dua hal bisa dipenuhi, yaitu orang bermobilitas lebih mudah dan jalan air tersedia lebih memadai. Wujud fisik kota Jakarta yang semrawut akan menjadi lebih tertata rapi. Dari titik tersebut, pembenahan hal-hal lain bisa mudah dilakukan.
Dengan adanya jaringan jalan yang baik, menata angkutan umum reguler ataupun angkutan umum massal pasti lebih mudah. Ketersediaan akses jalan memadai dan angkutan umum menjadi daya tawar tinggi bagi pemerintah untuk membuat masyarakat di permukiman liar mau direlokasi. Mereka bisa pindah ke tempat yang memadai, meskipun di pinggiran kota, tanpa direpotkan masalah mobilitas sehari-hari. (Neli Triana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.