JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi menilai, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo belum layak maju menjadi calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014. Menurut dia, selama kurang lebih 1,5 tahun memimpin Ibu Kota, Jokowi belum menghasilkan kebijakan dan prestasi yang dapat dibanggakan.
"Pas pertama kali dia masuk, kita sangat bangga (pada Jokowi), seluruh fraksi kita lobi dan kita fight kepada teman-teman di DPRD, dan meyakinkan amanah Jokowi yang begitu besar, tapi ternyata tidak ada apa-apanya," kata Sanusi, di Jakarta, Senin (24/3/2014).
Akan tetapi, ia menghargai keputusan PDI-P untuk mengusung Jokowi sebagai bakal capres. Hal itu merupakan hak partai. Sanusi mengimbau Jokowi mundur dari jabatannya sebagai gubernur. Ia memprediksi tak akan ada kebijakan penting yang dihasilkan pada masa-masa menjelang pemungutan suara karena gubernur cuti untuk mengadakan kampanye.
Sementara, Wakil Gubernur tidak dapat mengambil kebijakan strategis. Kondisi ini, menurut Sanusi, akan membuat para PNS di lingkungan Pemprov DKI dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tak jelas dalam melaksanakan program pemerintah.
"Mendingan lepasin badan dan lepasin baju, copot logo Jaya Raya (seragam dinas), bilang ke semua masyarakat kalau mau nyapres. Ini baru namanya kompetisi sehat, dan berani "gambling (bertaruh) kalau kalah di Pilpres, enggak jadi gubernur lagi," katanya.
Catatan untuk Jokowi
Sanusi mengatakan, ketika berhasil mengalahkan calon incumbent, Fauzi Bowo, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, ia yakin mantan Wali Kota Solo itu bisa mengatasi kompleksnya persoalan Ibu Kota. Akan tetapi, ketika Jokowi menerima mandat menjadi bakal capres PDI-P, harapannya kandas. Menurutnya, permasalahan Jakarta tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 1-2 tahun. Paling tidak, selesai dalam satu atau dua periode kepemimpinan.
Ia mengungkapkan, saat kepemimpinan Fauzi Bowo, dalam jangka waktu lima tahun ada penambahan 500 bus transjakarta. Sementara, di bawah Jokowi, selama 1,5 tahun berhasil mendatangkan 600 bus transjakarta. Namun, pengadaan bus ini bermasalah dan ada dugaan penyelewengan dalam proses pengadaannya. Oleh karena itu, ia menyarankan Jokowi meniru Fauzi yang mendatangkan bus secara bertahap.
"Akibat dugaan korupsi ini pula, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama lah yang akhirnya terkena imbas untuk mencari bantuan perusahaan swasta dengan program corporate social responsibility (CSR)," kata Sanusi.
Program lainnya yaitu Kampung Deret, kata Sanusi, sebenarnya menjadi gebrakan penataan kampung pertama di Indonesia. Untuk mematangkan program ini, seharusnya ada pusat pelayanan yang mendata pengaduan warga. Melalui program ini, masing-masing kepala keluarga diberi hibah oleh Pemprov DKI sekitar Rp 40-50 juta dan diberi kebebasan untuk menata lingkungannya agar terhindar dari banjir. Namun, karena tak ada call center, ujar Sanusi, banyak laporan penyalahgunaan hibah sehingga program tidak nerjalan.
Catatan lain yang dibeberkan anggota Komisi D DPRD DKI ini adalah tentang lelang jabatan di Pemprov DKI Jakarta. Menurutnya, banyak pengaduan terjadi kecurangan dalam proses lelang jabatan, terutama untuk jabatan kepala sekolah.
Selanjutnya, program transportasi massal berbasis rel, yaitu monorel, yang menjadi kebanggaan Jokowi, dinilainya tak jelas kelanjutannya. Peletakan batu pertama beberapa waktu lalu dianggap hanya seremoni basa-basi. Hingga kini, investor monorel, PT Jakarta Monorail, belum melengkapi berbagai persyaratan, mulai dari perjanjian kerja sama (PKS) hingga perencanaan bisnis.
"Ini persoalannya, Jokowi jangan cuma kasih ruh baik saja, tapi selesaikan dong sampai tuntas, ingat RPJMD (Rencana Panjang Jangka Menengah Daerah) Jokowi lho yang buat," kata Sanusi lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.