Lihatlah Pasar Santa sekarang. Pasar tradisional di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang sempat mati suri bertahun-tahun tersebut kini menjelma sebagai tempat nongkrong baru di Ibu Kota.
”Toko-toko yang biasanya ada di mal sekarang bisa ada di pasar. Suasananya asyik banget,” kata Adit (30), salah satu pengunjung yang ditemui, Sabtu (3/1). Adit sudah dua kali datang ke Pasar Santa.
Terdapat sekitar 1.100 kios yang tersebar di tiga lantai Pasar Santa. Lantai terbawah kebanyakan ditempati pedagang kebutuhan pokok, beras, dan sayuran. Di lantai berikutnya ada toko kosmetik, toko pakaian, dan penjahit. Di lantai teratas didominasi usaha anak muda.
Teddy W Kusuma, salah satu pengurus Perkumpulan Pedagang Pasar Santa, menilai, wajah pasar itu kini adalah hasil nyata tindakan kolektif anak-anak muda yang haus akan ruang publik alternatif.
Adanya ruang publik yang kian terjangkau membuat sebuah kota makin nyaman ditinggali. Menurut Edi Bonetski dari Rumah Belajar Anak Langit, kota layak huni adalah kota yang ramah pada anak-anak dan membahagiakan warga dari berbagai kalangan, suku, agama, ras, dan golongan.
Melalui kegiatan Pasar Muda Mudi Minggu Sore Sampai Malam (Pamumingsolam), Edi dan kawan-kawan membuat kegiatan pentas seni di Pasar Lama, Kota Tangerang. Setiap minggu, ratusan anak muda datang ke acara itu. Mereka memamerkan beragam karya seperti fotografi, grafis, dan lukis. Anak-anak juga bermain musik perkusi dan elektrik. Selain pentas seni, kaum muda juga menjual berbagai produk kreatif, seperti kaus, sepatu, dan tas.
”Selama ini pasar terkesan monoton. Interaksi sosial kurang terasa. Di Pamumingsolam, warga saling menyapa dan berinteraksi,” kata Edi.
Belum bersambut
Di tengah kota yang sibuk, melegakan menyadari ada orang seperti Edi dan Teddy yang peduli pada sekelilingnya. Kepedulian serupa ditunjukkan Abdul Kodir dan Komunitas Ciliwung Condet yang rutin membersihkan bantaran Ciliwung. Komunitas ini menghijaukan bantaran dengan berkebun salak serta tanaman khas Betawi lainnya.
Selain Abdul Kodir, ada Sudirman Asun dan teman-temannya yang juga beraksi nyata menyelamatkan Ciliwung. Di Kali Pesanggrahan, ada Chaeruddin atau biasa dipanggil Bang Idin. Bang Idin yang bersama banyak relawan sedikit demi sedikit bergerak hingga akhirnya bisa mewujudkan Hutan Kota Sangga Buana di bantaran Pesanggrahan.
Namun, sampai sekarang dirasa respons pemerintah setempat terhadap aksi warga terbilang kurang. Edi Bonetski mengatakan, seharusnya pemerintah daerah hadir dalam dinamika sehari-hari warga. Berbagai inisiatif warga perlu didukung dengan menerbitkan peraturan daerah yang pro terhadap keberagaman komunitas warga, melindungi, serta menjamin keberlanjutan aksi itu.
Bayu Wardhana dari Komunitas Peta Hijau menuturkan, warga perlu dilibatkan dalam pembangunan kota layak huni. ”Kualitas lingkungan hidup di daerah kumuh sulit diperbaiki karena kesadaran warga untuk menjaga lingkungan kurang,” ujarnya, di Jakarta, kemarin.
Hal ini juga diungkapkan oleh TNI yang bekerja sama dengan Pemprov DKI membersihkan sampah di Ciliwung.
Kepala Pusat Penerangan Kodam Jaya Letnan Kolonel Heri Prakoso Ponco Wibowo mengatakan, TNI tak bisa diandalkan terus-menerus membantu Pemprov DKI mengatasi sampah. Permasalahan sampah harus ditangani bersama. ”Peran warga sangat dinantikan karena Kali Ciliwung bagian dari lingkungan tempat tinggal warga,” katanya.
Peta kekuatan