JAKARTA, KOMPAS.com - Reputasi Kalijodo sebagai tempat pelacuran ternyata sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Keberadaannya sebagai tempat mencari "cinta sesaat" ternyata sudah dimulai saat pembentukan Batavia oleh Pemerintahan Kolonial Belanda.
Dalam bukunya, "Geger Kalijodo", Krishna Murti, menuturkan, pada abad ke-20, karesidenan Jakarta terdiri atas enam afdeling (semacam distrik), salah satunya afdeling Panjaringan.
Afdeling Penjaringan dikenal berada di lokasi yang strategis, karena tak jauh dari pelabuhan utama ketika itu, yakni Pelabuhan Sunda Kelapa.
Di dalam afdeling Penjaringan inilah, terletak Kalijodo, sebuah kawasan yang diapit oleh Sungai Angke dan Kanal Banjir Barat.
"Sesuai dengan namanya, Kalijodo, sejak masa-masa penjajahan Belanda dikenal sebagai tempat orang mencari cinta," kata Krishna yang kini dikenal sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dengan pangkat Komisaris Besar.
Menurut Krishna, dalam novel Ca-Bau-Kan karangan Remy Silado, digambarkan mengenai situasi di Kalijodo pada era 1930-an. Di situ, kawasan Kalijodo dikisahkan sebagai tempat para pedagang-pedagang Tionghoa singgah.
"Di sini tempat para gadis pribumi mendendangkan lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu-perahu yang ditambat di pinggir kali," tulis Krishna.
Reputasi Kalijodo sebagai tempat prostitusi ternyata berlanjut setelah era pasca-kemerdekaan.
"Bahkan sampai abad ke-21, selain menjadi tempat perjudian ilegal, Kalijodo juga berkembang sebagat tempat prostitusi liar," tulis Krishna.
*Tulisan ini diambil dari buku karya Krishna Murti yang berjudul "Geger Kalijodo".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.