JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Balai Besar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta Dewi Prawitasari menegaskan, obat penenang Riklona Clonazepam tidak boleh dijual di sembarang tempat.
Hal itu diungkapkan untuk menanggapi fakta adanya obat tersebut yang dijual secara bebas, seperti yang ditemukan Kompas.com di sebuah warung dekat Pasar Kencar, Kota Bambu Raya, Palmerah, Jakarta Barat, baru-baru ini.
"Itu kan obat yang seharusnya sesuai aturan dibeli dengan resep dokter dan disediakan di apotek. Yang boleh jual adalah apotek, karena obat itu tergolong psikotropika," kata Dewi saat dihubungi, Rabu (30/3/2016).
(Baca: Obat Penenang "Riklona Clonazepam" Ternyata Dijual Bebas di Warung )
Dewi menjelaskan, obat Riklona Clonazepam tergolong obat yang memiliki tanda lingkaran merah yang berarti obat keras dan hanya boleh dijual di apotek berdasarkan resep dokter. Jika obat dengan kategori seperti itu dijual di tempat selain apotek, seperti warung, hal itu dinyatakan dengan jelas melanggar peraturan.
Dari pelanggaran itu, Balai Besar BPOM DKI Jakarta dapat memeriksa apotek yang ada di seluruh Jakarta. Pihaknya memeriksa dengan meminta dokumen pengadaan dan penjualan obat-obat psikotropika dari tiap apotek.
Apabila ada apotek yang tidak dapat menunjukkan dokumen tersebut atau terbukti menyalahi aturan dengan menjualnya secara sembarangan, maka akan dikenakan sanksi berupa penutupan apotek.
"Kalau obat itu ditemukan di sarana tidak resmi atau di sembarang tempat, kita harus telusuri, itu obat asli atau palsu. Cek di apotek, apakah ada kebocoran, pendistribusian dan penjualan obat. Kalau apotek tidak bisa menunjukkan bukti pengeluaran atau pemesanan, berarti kemungkinan ada penyimpangan," tutur Dewi.
( Baca: Mensos: Bayi Pengemis yang Dicekoki Obat Penenang Alami Penurunan Syaraf )
Obat jenis Riklona Clonazepam jadi sorotan karena diberikan pengemis kepada anak kecil yang mereka bawa saat mengemis. Obat itu sengaja diberikan agar anak di bawah umur yang mereka bawa untuk menarik simpati orang lain itu tidak rewel dan menangis. Seperti yang dialami oleh seorang bayi berumur enam bulan bernama Bonbon, yang menjadi korban perdagangan manusia.