JAKARTA, KOMPAS.com — Jumat (15/4/2016) sore, sekitar pukul 16.30, anak-anak usia sekolah dasar di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, berkumpul di lahan penggusuran. Mereka bermain di atas puing-puing sisa penggusuran.
Di antara mereka, beberapa anak tampak bermain "perang-perangan" menggunakan kayu dan bambu. Kayu tersebut mereka anggap sebagai senjata. Tak lama, seorang anak lainnya datang menghampiri mereka. Anak itu berperan sebagai polisi.
"Ngiung... ngiung... ngiung...," ujar anak tersebut menirukan suara sirine mobil polisi.
(Baca: Anak-anak Pasar Ikan Dipulihkan dari Trauma)
Anak-anak yang tadi bermain perang-perangan langsung mengangkat tangan mereka, tanda menyerahkan diri kepada sang polisi. Setelah itu, mereka memainkan peran lain.
Permainan masih dengan tema serupa, "polisi-polisian". Kali ini, ada anak yang berperan sebagai pencuri, korban, dan polisi.
"Kita kan ceritanya maling ini ya," ujar seorang anak.
Anak lain yang berperan sebagai korban langsung meminta pertolongan polisi.
"Polisi... polisi... tolong," teriak anak tersebut.
Sayangnya, "pak polisi" tak kunjung datang.
Mereka pun tidak melanjutkan permainan polisi-polisian. Salah satu anak, Reihan, mengaku mengetahui aksi perang-perangan tersebut dari televisi.
"Tahu dari nonton TV," kata Reihan kepada Kompas.com.
Saat ditanya permainan apa lagi yang akan mereka lakukan, Reihan menjawab akan bermain tawuran.
"Mau main tawur-tawuran lagi," ujar Reihan.
(Baca: Warga Pasar Ikan yang Bertahan di Perahu, Mengais Rezeki dari Puing Penggusuran)
Selain mereka, ada pula anak-anak lain yang bermain di atas sisa puing-puing penggusuran. Mereka mengambil puing-puing tersebut dan melemparkan ke sungai yang terhubung ke laut.
Keceriaan anak-anak itu seolah meniadakan polemik penggusuran di lokasi tersebut.
Saat malam datang, anak-anak itu kembali ke keluarganya yang tinggal di perahu. Perahu dipilih sebagai tempat tinggal sementara oleh warga Pasar Ikan korban penggusuran yang menolak direlokasi ke rusunawa.