JAKARTA, KOMPAS.com - MS (16) pelajar kelas 3 SMP yang ditahan di LP Cipinang, sore ini, Senin (25/4/2016) diputuskan bebas oleh hakim dan dakwaannya dibatalkan. Kepada awak media, ia pun menceritakan kisahnya selama empat bulan ditahan bersama orang-orang dewasa di LP Cipinang.
"Saya jarang makan sering sakit, demam pilek, makan susah di sana harus rebutan, saya pingsan sampai tiga hari. Saya kadang nggak boleh makan nggak boleh tidur sama napi lain," kata MS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Meski mengaku tidak pernah dipukul, MS menyebut ia tak tahan dengan intimidasi dari tahanan lain. Apalagi, ia baru berusia 16 tahun yang tidak seharusnya ditahan, apalagi di lembaga pemasyarakatan dewasa.
MS pun tak kuasa menahan tangis haru saat hakim memutuskan ia bebas.
"Saya bahagia sekali karena dari Pak Hakim menyatakan saya sudah tidak ditahan di Cipinang lagi," ujarnya.
Dua pekan lagi, MS seharusnya mengikuti Ujian Nasional SMP. MS yang terdaftar sebagai siswa Paket B pun mengaku kesulitan belajar karena tidak ada sarana yang memadai untuk belajar selama ia berada di lapas.
"Kemarin dikasih buku selembar buat belajar ngaji. Buat UN, gimana saya mau belajar? Baju saya aja diambilin sama napi lain, saya enggak berani minta takutnya salah ngomong nanti diapain," tuturnya.
Namun, kesedihan terberat yang harus ia rasakan adalah kerinduan akan ibunya. MS terakhir bertemu dengan ibunya saat ia masih diperiksa di Polda Metro Jaya. Ibunya pun enggan menemui karena terlalu sedih melihat anaknya hingga pingsan beberapa kali saat akan menjenguk.
"Kangen banget saya pengen ketemu ibu saya," katanya. (Baca: PP Direvisi, Korban Salah Tangkap Bisa Dapat Ganti Rugi hingga Rp 100 Juta)
Kuasa hukum MS dari LBH Jakarta, Bunga Siagian mengatakan MS adalah korban dari peradilan sesat. Ia tidak seharusnya diadili secara umum, apalagi ditahan.
"Tahanan itu bukan tempat layak bagi manusia, apalagi anak-anak. Dia nggak seharusnya diadili seperti orang dewasa, untuk anak-anak kan diupayakan keadilan restoratif," kata Bunga.
Sesuai UU Sistem Peradilan Anak Nomor 11 Tahun 2012, dalam hukum restoratif, perkara MS seharusnya diterapkan diversi.
"Jadi hanya mediasi dengan korban untuk mencari jalan tengah dan pastinya tidak ditahan. Karena tahanan atau penjara itu bukan tempat bagi anak," kata Bunga. (Baca: Hakim Bebaskan MS, Anak yang Terjerat Peradilan Sesat)
Perkara MS berawal dari adanya kegiatan acara perayaan awal tahun baru dengan melakukan bakar ikan yang dilakukan MS bersama kawan-kawannya di sebuah gubuk di Kampung Flamboyan 7, Tebet, Jakarta Selatan. Tiba-tiba MS mendengar suara bahwa ada serangan. Ia melihat ada segerombol orang menghampiri tempat ia duduk di depan gubuk.
Segerombol orang tersebut menyerang dirinya dan kawan-kawan dengan membawa senjata tajam. Ia pun menghindar berusaha menyelamatkan diri. MS mendengar bahwa ada air keras di bawah gubuk, ia pun segera mengambil air tersebut dan menyiramkannya kepada HB (38), orang yang akan membacoknya.
HB sebelumnya telah menghabisi nyawa AR (20 tahun), teman MS. Kasus ini pun diproses oleh Polda Metro Jaya sejak Januari lalu, dan dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
MS didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Pasal 351 ayat (2) dan ayat (1) tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.