JAKARTA, KOMPAS.com - Pendamping Ahli "Teman Ahok" I Gusti Putu Artha mempertanyakan urgensi pemaksaan waktu tiga hari dalam verifikasi faktual calon perseorangan. Tenggat tiga hari untuk warga yang tidak bertemu petugas verifikasi faktual melapor ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) dianggap janggal.
"Yang aneh kan, Mas Lukman Edy (Wakil Ketua Komisi II DPR RI) bilang kepentingan Nasional. Enggak. Ini Jakarta sentris. Kenapa harus dipaksa tiga hari?" kata Putu di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6/2016).
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu mencontohkan dampak pada calon perseorangan bila Pilkada di Papua.
Warga pendukung calon perseorangan harus berjalan dari kampungnya berhari-hari hanya untuk melaporkan ke PPS. Maka, dipastikan persyaratan itu malah memperberat calon perseorangan.
(Baca: Ini Ketentuan Verifikasi KTP Dukungan untuk Calon Independen dalam UU Pilkada)
Padahal, bila tak diterapkan, pendukung masih memiliki waktu hingga hari ke-14 sebagai batas akhir verifikasi faktual untuk melapor ke PPS.
"Problem teknis ini menggangu pilkada di Papua, Sumut yang secara geografis jauh-jauh," ucap Putu.
Ada dua jenis verifikasi yang diatur dalam Pasal 48 UU Pilkada.
Pertama adalah verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
(Baca: Komisi II: "Bukan DPR yang Jegal Ahok, Tapi KPU")
Kedua, adalah verifikasi faktual dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.
Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.