Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Opera Kecoa, Menertawakan Kemelaratan

Kompas.com - 17/11/2016, 08:10 WIB

Hampir tiga jam, penonton ditampar kemiskinan yang dibiarkan penguasa yang malah memanfaatkan orang-orang pinggiran, serta tentu sejuta pola tingkah orang-orang kalah yang terus berjuang, bahkan hingga harus ada yang mati. Selama itu juga penonton tertawa.

Sepasang kekasih, Roima dan Julini, bercengkerama di pagi yang masih sangat dini namun penuh kesibukan. Julini berdandan, terus berusaha membangunkan Roima hingga mereka bercerita mengenai kawan-kawan mereka yang dulu tinggal di gubuk di sekitar dari kumuh tersebut “Sudah pada mati, kali “. Dan penonton yang memenuhi seisi gedung Graha bhakti budaya itu pun tertawa, keras sekali.

Demikianlah pembukaan pertunjukan Opera Kecoa yang dimainkan teater Koma yang disutradarai Nano Riantiarno dari naskah yang ditulisnya sendiri. Sedangkan Musik dikerjakan oleh mendiang alm Harry Roesly.

Melalui tokoh Roima dan Julini, Nano tentu dengan sengaja menyitir nama Romeo, Juliet yang merupakan tokoh utama kisah cinta romantis sekaligus tragis. Dalam Opera kecoa, Roima adalah preman kelas teri, sedangkan Julini seorang waria yang bekerja sebagai pelacur. Karakter sepasang kekasih ini saja sudah sejak awal telah menohok isi hati dan pemikiran orang banyak.

Betapa tidak, pertama, mereka adalah sesama lelaki. Kedua, mereka adalah perwailan masyarakat kelas bawah, bawah sekali, yang tidak tersentuh pembangunan, malah cenderung jadi korban. Namun bukan Nano Riantiarno namanya jika kemudian tidak membungkusnya dengan komedi.

Melalui kekonyolan, spontanitas yang berkesan ceplas-ceplos dan sarat sindiran berbau seksual, membuat penonton tertawa, terpingkal-pingkal.

Kemudian cerita bergulir dengan perteuan Julini, Roima dengan kawan lama mereka Tarsih dan Turminah yang telah menjadi mucikari dan pelacur. Namun Julini dan Roima yang semula ingin meminta bantuan, tersinggung lantaran dianggap hanya mau menumpang hidup dan menjadi beban.

“Tidak perlu khawatir, Roima, suamiku, sudah bekerja di pabrik kabel “ kata Julini berkesan sekenanya, sehingga lagi-lagi memancing tawa semua penonton.

Opera kecoa adalah panggungnya orang-orang kalah yang entah kalah oleh nasib, derasnya pembagunan atau diri sendiri yang dianggap tidak mau berusaha lebih sehingga dianggap sengaja memilih jadi pelacur, preman dan waria

Setidaknya itulah yang terus dicelotehkan karakter petugas keamananan, pejabat yang sepanjang pentas selalu tampil dalam adegan menggerebek, menceramahi dan membunuh. Lalu kemudian sibuk saling menyalahkan. Sebuah potret yang sebetulnya hingga kini masih kita akrabi.

Tidak heran jika Opera kecoa yang pertama kali dipentaskan tahun 1983 ini kemudian beberapa kali dilarang pentas. Bahkan undangan untuk pentas di Jepang pun batal. Penonton yang terlanjur membeli tiket, dihadang petugas keamanan dan harus pulang kecewa. Seluruh awak teater koma yang telah berlatih serta membangun set menjahit kostum hingga merancang msuik, harus gagal pentas kaerna larangan pihak pemerintah.

Saat ini, memang pemerintah tetu sudah sangat longgar . Pementasan Teater Koma ke 146 ini masih akan berlangsung hingga tanggal 20 nanti. Iklim yang tak lagi takut dengan pementasan seperti ini, perlu kita syukuri. Namun seluruh kisah atau sentilan yang ada dalam pementasan ini, sungguhpun tetap relevan dan terasa masih ada. .

Tepuk tangan yang panjang perlu diberikan kepada Jono Bayu winanda yang sejak tirai pertunjukan dibuka hingga bahkan dalam adegan ia menjadi mayat, tetap mampu ‘menghibur’ penonton. Bagai pamer kemampuan akting yang ia miliki, melalui tokoh Julini yang ia mainkan, pergantia emosi datas panggun g begitu terasa kuat.

Romantisnya kisah cinta dengan Roima, walau disaat serba kekurangan dan hidup menggembel, yang kemudian menjadi ironis karena kedapatan perselingkuhan justru di saat mereka telah membaik secara ekonomi. Kisah ini berlanjut, dengan akhir tragis lantaran peluru nyasar merenggut nyawa Julini.

Semua rangkaian adegan berhasil d ainkan dengan sempurna, emosi penonton dibuat teraduk antara tangis, tawa, perenungan dan pasrah bahkan marah

Hal ini tentu juga berkat naskah yang ditulis nano. Malalui dialog maupun syair lagu, berhasil menjadikan pertunjukan sepanjang ini menjadi relatif tidak membosankan dan berat untuk dikunyah. Hal ini tentu tidak mudah, apalagi disaksikan kalngan penonton urban yang terhitung terbiasa dengan tontonan film bioskop atau televisi yang palig panjang 90-120 menit.Kecanggihan naskah juga terlihat betapa persoalan bahkan banyolan yang ditulis belasan tahun lalu, masih sangat relevan dan mengena di hati penonton dan terpampang jelas di keseharian saat ini.

Namun, sesuai tulisan di poster, pentas ini tidak untuk disaksikan oleh anak-anak atau mereka yang berusia dibawah 17 tahun. Perkataan maupun perilaku berbau seksual bertebaran di sejumlah adegan.

Menyaksikan Opera Kecoa menjadi penting dan menarik, karena kenyataan yang kita hadapi sangatlah keras, absurd dan sadis. Walau opera kecoa menjadikan kalangan ppelacur, preman dan waria serta pejabat sebagai pencerita, namun sesungguhnya tu cermin dari siapapun masyarakat saat ini. Masyarakat yang tertindas, pejabat yang korup serta orang-orang yang memuja bahkan mencari nafkah dari aksi kekerasan. Mereka ada di sekeliling kita. Potret ini dapat kita saksikan sambil tertawa. Setidaknya itu yang tidak bisa kita jalani di kenyataan. (Iwan Setiawan/JY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com