JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus penistaan agama yang melilit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam waktu dekat akan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menanggapi hal itu, ahli pidana dari Universitas Jendral Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan, posisi hakim yang mengadili perkara Ahok amat dilematis.
"Ini dilematis, mesti, pasti geger, lolos geger, apalagi enggak lolos," kata Prof saat berbincang dengan wartawan, Selasa (6/12/2016).
Menurut dia, apapun yang diputuskan hakim pasti menuai polemik.
"Kalau lolos mesti ramai, kalau enggak lolos jadi perdebatan hukum," katanya.
Hibnu pun mengingatkan, agar hakim berpijak terhadap undang-undang saja, tidak melihat apa yang terjadi jika diputus bersalah atau Ahok dinyatakan bebas nantinya.
Sebab, kata dia, sebagai wakil Tuhan, hakim harus bersikap berdasarkan hukum dan keyakinan.
"Karena itu, untuk tidak lepas tutup mata apa yang dikatakan UU begitulah. Dia seperti itu, apa yang terjadi terjadilah," katanya.
Hakim harus tetap independen dalam memutus kasus tersebut.
"Dia memutuskan beradasarkan bukti dan keyakinan, tidak mengingat desakan publik bagaimana, penguasa bagaimana, mudah-mudahan itu yang kita harapkan pada hakim nanti," kata dia.
Bahkan dia menerangkan, sekalipun langit runtuh, hakim harusnya tak pedulikan itu dalam mengambil keputusan yang adil.
"Pasti melihat aspek ke arah sana (potensi ricuh jika Ahok bebas), tapi harusnya, hakim tutup mata, dalam ilmu hukum ada istilah biarkan langit runtuh, tapi hukum tetap ditegakkan, ini buat ujian, runtuh bener atau enggak langit nanti," kata dia. (Baca: Jokowi Minta Pengadilan Tak "Main-main" Sidangkan Perkara Ahok)
Dia menambahkan, persoalan Ahok memang diketahui tak sepenuhnya bulat. Baik penyidik, saksi, maupun ahli beda pandangan tentang kasus Ahok yang penuhi unsur pasal penistaan agama atau tidak.
"Ini tafsir ya, masalah tafsir, ada tafsir bahasa, tafsir Al-Quran, kalau kita lihat tafsir mana, menafsirkan bahasa ada yang katakan tidak (menistakan agama), agama konon itu belum masuk juga, ada yang masuk, jadi tergantung subyektivitas," kata dia.
Dalam pandangan hukum, menurutnya hukum untuk menilai bukti tidak berdiri sendiri. Suatu bukti pernyataan tidak sejauh mana pernyataan itu mempunyai nilai bukti yang terkait di dalamnya.
"Mungkin niatnya, bahasa tubuhnya, kerangka bahasanya kan gitu, ini yang harus dinilai, bukti penilaian komprehensif bukti terkait dengan bukti yang lain di sini harus dinilai masing-masing," katanya. (Dennis Destryawan)