Hijau dan jernih. Air laut yang berwarna hijau bergradasi biru meneduhkan mata. Batu besar di dasar laut sekilas terlihat. Kapal kayu dan fiber terparkir rapi di dekat dermaga. Pemandangan ini bukan pantai di Bali, apalagi di Hawaii. Ini ada di pesisir Jakarta, di belakang Waduk Pluit, akhir pekan lalu.
Laut di belakang Waduk Pluit ini seperti teluk kecil. Mulut muara berada sekitar 2 kilometer dari batas daratan. Sebelah kanan adalah wilayah Pelabuhan Nizam Zachman, di sisi kiri adalah kompleks Perumahan Pantai Mutiara. Biasanya air laut di wilayah laut ini sama dengan di pesisir Jakarta lainnya, berwarna hijau tua. Jika hujan turun, kadang jadi coklat seiring lumpur terbawa masuk ke air.
"Airnya memang jarang seperti ini. Apalagi kalau sering hujan. Tapi, kalau pompa nyala, air berubah," ucap Hengki (38), staf rumah pompa Waduk Pluit.
Benar saja, beberapa lama setelah pompa mengalirkan air dari waduk, warna air laut perlahan berubah. Air hijau jernih jadi coklat tua.
"Dengan musim seperti saat ini, hujannya tidak banyak, biasanya tidak terjadi sedimentasi. Juga tak ada pengadukan perairan serta asupan air dari daratan berkurang," kata Peneliti Utama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Sri Turni Hartanti.
Wilayah pesisir Jakarta pada dasarnya daerah yang dulunya berkarang. Degradasi bertahun-tahun lamanya membuat laut seperti kubangan besar. Air lautnya kotor, dasar laut penuh sedimen, dan kandungan di dalamnya banyak nutrien. Riset Balitbang KKP pada 2014 menunjukkan degradasi di laut Teluk Jakarta berpengaruh terhadap banyak hal, utamanya biota laut. Rajungan, kerang hijau, dan baronang mengalami perubahan struktur jaringan. Ukurannya jadi lebih kecil dibanding biota sama di perairan lainnya.
"Karena itu, perlu ada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di darat sehingga limbah domestik tidak akan sampai ke laut. Demikian juga sampah industri yang sarat bahan kimia bisa lebih berkurang. Jangan lupa, aktivitas di laut juga banyak yang merusak lingkungan dan habitat meski persentase dari daratan lebih besar," tutur Sri.
DKI kini hanya punya satu IPAL yang hanya mampu mengelola sekitar 7 persen dari cakupan penduduk. Pemerintah menargetkan pembangunan 9 IPAL baru dengan target cakupan layanan 65 persen. Tetapi, pembangunan instalasi ini berbiaya tinggi, Rp 43 triliun, sesuai estimasi pada 2012.
Gambaran Teluk Jakarta
Menurut Alan Koropitan, Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, laut di Teluk Jakarta pada dasarnya masih bisa diperbaiki dan "dihijaukan" kembali. Dengan kondisi seperti itu, ujar Alan, akan menimbulkan banyak efek turunan positif. Baik itu pariwisata, perikanan tangkap, maupun budidaya, dan lainnya tanpa melakukan program yang makin merusak teluk. Saat ini pemerintah pusat, DKI, dan swasta membangun tanggul fase A bagian dari Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD). Tanggul ini tidak dipersoalkan, tetapi rencana selanjutnya, yaitu reklamasi 17 pulau dan tanggul raksasa, masih memicu perdebatan.
Menurut Alan, kondisi teluk di belakang Waduk Pluit ini sedikit banyak adalah gambaran kecil Teluk Jakarta. Langkah awal bisa dilakukan dengan mengontrol limbah yang masuk ke laut. Perlu dihitung waktu tinggal material atau limbah di dalam teluk dan berapa yang bisa ditransportasikan keluar teluk.
"Inilah restorasi yang saya maksud," ucapnya. Jumlah limbah dari daratan yang bisa dialirkan ke laut bisa ditentukan dengan total maximum daily load (TMDL). "Tapi, mengontrol dari waduk aja belum bisa, bagaimana TMDL?" ujarnya.
(Saiful Rijal Yunus)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2016, di halaman 27 dengan judul "Sejenak Melihat "Hijaunya" Pesisir Jakarta".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.