JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang perdana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan dilakukan, Selasa (13/12/2016).
Sidang tersebut akan dipimpin lima hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pakar Hukum dari UIN Andi Syafrani mengatakan, pengadilan akan mengungkap fakta kasus tersebut secara terbuka.
Dia berharap, hakim objektif dalam mendengarkan keterangan saksi. Andi juga berharap, kelima hakim terbebas dari intervensi dan kepentingan manapun.
Terlebih, dikabarkan akan ada demo saat berlangsung jalannya sidang Ahok.
"Dalam proses ini, hakim harus terbebas dari opini apapun termasuk tekanan publik," kata Andi saat dihubungi, Minggu (11/12/2016).
Selain itu, publik pun tidak boleh melakukan hal-hal yang bertujuan memengaruhi putusan hakim.
"Jangan sampai keadilan tercemar oleh faktor eksternal apalagi urusan politik," katanya.
Seharusnya, menurut Andi, kepolisian hanya memberi teguran kepada Ahok dalam menyikapi kasus dugaan penistaan agama itu.
Teguran bisa berupa lisan atau tertulis dan diminta tidak mengulangi hal serupa di kemudian hari.
Andi menambahkan, salah besar ketika Ahok dikenakan pasal 156a KUHP bersumber dari Penetapan Presiden nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama.
Dalam Penpres pasal 4 menyebutkan seseorang akan dipidana maksimal lima tahun jika dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama.
Sehingga, menurut dia, jangan terburu-buru menggunakan hukum pidana.
Mahkamah Konstitusi menurutnya menegaskan harus diperhatikan proses-proses penegakan hukum dalam penetepan presiden tersebut seperti teguran secara tertulis, ada pembubaran kalau organisasi.
"Harus dikasih peringatan dulu, misalkan main bola pakai kartu kuning, bukan langsung kartu merah," kata dia.
Alumni Universitas Melbourne, Australia ini menuturkan terlalu berlebihan berbagai pihak menuding Ahok menistakan Agama. (Dennis Destryawan)