JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menerima tujuh aduan adanya dugaan kekerasan terkait penangkapan pascakerusuhan 22 Mei di Jakarta. Selain ke Kontras, aduan juga masuk ke LBH Jakarta sejak 27 Mei lalu.
"Kami menemukan dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia dengan pola yang sama," ujar Koordinator Kontras Yati Andriyani dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Minggu (2/6/2019).
Ke-tujuh orang yang ditangkap, yakni RM, FM, AR, ANR, ID, dan AF. Kepada keluarga, mereka yang ditangkap mengaku, telah mengalami kekerasan fisik saat penangkapan dan saat ditahan.
Keluarga bahkan mengaku hingga saat ini tak menerima surat penangkapan dan penahanan dari kepolisian.
Baca juga: Polisi Dinilai Jadi Pihak Tertuduh, Fahri Hamzah Dukung TGPF Kerusuhan 22 Mei
Selain itu, keluarga ke-tujuh orang itu mengeluhkan tak diberikan kesempatan untuk menjenguk selama ditahan. Mereka juga tidak diperbolehkan menggunakan jasa pengacara selain dari yang disediakan polisi.
Sikap kepolisian ini, kata Yati, melanggar hak asasi dan berpotensi salah tangkap.
"Kekerasan dan pelanggaran ini dapat bermuara pada dihukumnya orang yang tidak bersalah," ujar Yati.
Dari tujuh orang itu, enam di antaranya ditangkap polisi dari kerusuhan 22 Mei. Sedangkan seorang berinsial ANR ditangkap polisi pada 24 Mei 2019.
Baca juga: Ditemukan Busur Panah Beracun yang Berbahaya dari Massa Kerusuhan 22 Mei
Dari ANR disebut ditangkap begitu saja dari rumahnya setelah viralnya video penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. ANR diperiksa sebagai saksi atas video tersebut dan sempat ditahan selama empat hari.
Atas aduan ini masyarakat itu, Kontras, LBH Jakarta, dan LBH Pers mendesak polisi agar membuka akses kepada kuasa hukum dan keluarga untuk bertemu korban.
"Kepolisian harus menyelesaikan kasus ini sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku," ujar Yati.