JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang nelayan duduk melamun di atas kapal yang bersandar di dermaga Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (5/10/2021).
Pria yang akrab dipanggil Bada (54) itu termenung memikirkan hasil tangkapannya yang menurun akhir-akhir ini.
"Iya, udah seminggu turun," kata Bada.
Bada bercerita, biasanya dia bisa menangkap ikan paling banyak 10 ton dalam satu hari.
Namun, dalam sepekan terakhir, ia hanya berhasil menjala satu ton ikan.
"Kalau lagi normal ya 5-10 ton, sekarang mah satu ton, dua ton," tutur Bada dengan wajah memelas.
Baca juga: Cerita Nelayan Teluk Jakarta, Pendapatan Turun karena Hasil Tangkapan Ikan Merosot Sepekan Terakhir
Sudah 10 tahun Bada mengais rezeki di lautan.
Bersama delapan nelayan lainnya, Bada setiap hari menebar jala mengarungi perairan Teluk Jakarta, dari pesisir Penjaringan hingga Kepulauan Seribu.
Kapal nelayan yang mengangkut Bada dan kawan-kawan berangkat setiap pukul 20.00 WIB dan kembali berlabuh di dermaga pada pukul 06.00 WIB.
Meski 10 jam berada di lautan, Bada dkk tak bisa membawa pulang banyak ikan akhir-akhir ini karena cuaca tak bersahabat.
Baca juga: Jeritan Nelayan Saat Teluk Jakarta Rusak akibat Limbah dan Proyek Reklamasi
Merosotnya hasil tangkapan tentu saja memengaruhi pendapatan Bada dan para nelayan lain.
Bada menyebutkan, satu ton ikan yang ditangkap bisa menghasilkan Rp 2 juta. Namun, uang tersebut tentu saja tak semuanya masuk kantong Bada. Ia paling mendapat Rp 50.000.
"Paling Rp 2 juta per ton. Normal bisa Rp 10 juta. Dibagi lagi, ada belanjaanlah Rp 300.000, sama bosnya. Paling saya cuma Rp 50.000," lanjut pria asal Indramayu itu.
Sebelum menggantungkan hidup sebagai penjala ikan, Bada rupanya pernah menjadi seorang tukang becak selama 20 tahun.
Bada mengayuh becak, mengantar penumpang di sekitar kawasan Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara.